E m p a t B e l a s

4.6K 301 1
                                    

"Alana, maukah kau ikut denganku sebentar untuk menemui seseorang?"

Entah mengapa aku mengangguki ajakannya, tanpa berpikir panjang ada niat buruk atau tidak dalam hati Annaliese. Hanya saja aku sedikit percaya dengan Annaliese, dia tidak nampak seperti seseorang yang jahat.

"Pejamkan matamu," lirihnya.

Aku menurut dan memajamkan kedua kelopak mataku. Dalam pejam aku merasakan tanganku yang tengah bersentuhan dengan Annaliese terasa lebih dingin, hawa dingin itu menjalar hingga ke seluruh badanku, aku dibuat menggigil olehnya. Itu berlangsung beberapa menit, karena setelahnya semua rasa dingin itu sirna, berganti dengan kehangatan yang mulai menyelimuti.

"Bukalah matamu, kau boleh menanyakan apapun kepada nyai Rukmini, aku akan menjaga tubuhmu disini."

Aku membuka mata dengan sempurna, tidak Annaliese di sampingku meski suara tadi memang terdengar di telinga. Jadi maksud Annaliese, saat ini jiwaku tengah terlepas dari ragaku atau bagaimana? Semacam adegan dalam film insidious, itu terasa menyeramkan sebenarnya.

Pemandangan yang pertama kali aku tangkap adalah sebuah bagunan luas dengan banyak sekali paviliun yang memiliki fungsi berbeda-beda. Paviliun ini seperti bagunan keraton jawa kuno, begitu indah dan memiliki banyak sekali bagian, mungkin sejenis dengan bagunan keraton Yogyakarta tetapi versi kunonya. Entah ini benar-benar keraton atau sebuah rumah besar milik seseorang, karena aku tidak tahu.

Langkahku terhenti saat di depan aku melihat seorang wanita, berusia sekitar 50 tahunan menatap nyalang ke arahku. Dia menggunakan kebaya hitam, sanggul dan juga jarit yang nampak pas sekali dengan tubuhnya. Pembawaannya penuh wibawa, terbukti dengan dagunya yang ia tegakkan dan tatapan matanya itu tanpa gentar terus menatapku. Apakah ini yang dikatakan oleh Annaliese sebagai nyi Rukmini?

"Apa yang ingin kau tanyakan?" tidak ada perubahan dari mimik wajahnya, masih datar dengan kedua lengan yang bertaut anggun.

Aku mengulurkan lengan kiriku, "Nyai, apakah benar ada benang merah yang mengikatku?"

Nyai Rukmini tidak mengalihkan pandangannya, ia tetap menatap lurus seperti tadi. Aku kembali menarik tanganku, dan dengan cemas menunggu jawaban darinya. Aku berharap jawabannya adalah tidak, aku tidak ingin terikat dengan siapapun. Jodoh itu di tangan tuhan, bukan di tangan iblis.

"Kau adalah pengantin dari seorang iblis yang memiliki wilayah kekuasaan besar."

Aku melemas mendengarnya, jadi ini semua adalah kenyataan. Adamir itu memanglah nyata?

"Bagaimana bisa aku menjadi pengantinnya? Aku adalah manusia dan dia bukan manusia."

"Pernikahan berlainan dunia itu biasa terjadi, penguasa menikah dengan penguasa dunia lain untuk memperkokoh negaranya, seorang menikah dengan bangsa kami untuk mendapatkan kekayaan dan juga orang sepertimu yang sudah terikat benang merah."

Aku memang pernah mendengar pernikahan gaib semacam itu, pada zaman dahulu ada seseorang raja yang menikah dengan ratu dari bangsa jin untuk memperkokoh kedudukannya dengan bantuan ratu jin itu. Ada pula pesugihan dengan menikahi mahluk gaib, juga memiliki suami gaib yang bisa memberikan harta kekayaan setiap saat lalu terjerat olehnya. Tetapi mengenai ikatan benang merah ini, aku sama sekali tidak memahaminya.

"Apakah benang merah ini bisa diputus?"

"Ikatan jodoh seseorang saja tidak bisa diputus, sekarang kau memiliki ikatan dengan seorang iblis. Biasanya dalam kasus sepertimu, iblis itu akan mengambil jiwamu saja untuk pergi bersamanya."

"Aku pernah bermimpi bertemu dengannya tetapi tidak tahu cara menemuinya, apakah Nyai punya cara agar aku bisa bertemu dengannya?"

"Untuk saat ini hanya dia yang bisa menemuimu, kau tidak bisa memanggilnya."

Sayang sekali, padahal ada banyak sekali hal yang ingin kutanyakan pada Adamir, kurasa hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaanku ini karena ia adalah orang yang bersangkutan. Menunggu Adamir datang yang waktunya tidak pasti, itupun ia juga asal pergi sesuka hatinya, baik seperti pertemuan pertama atau yang kedua di mimpi itu, Adamir pergi begitu saja padahal aku masih memiliki hal yang ingin kutanyakan padanya.

"Sepertinya sudah cukup hal yang kuberitahu, aku hanya tahu sebatas itu. Kau bisa kembali dengan melewati pintu itu," Nyai Rukmini menunjuk sebuah paviliun yang memiliki pintu dengan ukiran aneh.

"Terima kasih Nyai," ucapku tulus.

Aku melangkahkan kakiku menuju paviliun yang dimaksud oleh nyai Rukmini, membuka pintunya pelan. Hal yang kulihat begitu membuka pintu adalah aula super besar berisi ribuan mahluk berbagai jenis, aku tidak bergabung dengan mereka melainkan berada di balkon yang jauh lebih tinggi dari mereka. Entah apa yang membuat mereka tidak bisa naik karena mereka hanya berdiam di bawah dengan seringaian menyeramkan, jadi mereka hanya bisa berada di dasar dan tidak bisa menggapai balkon ini.

Jantungku berdetak begitu kencang begitu memperhatikan mereka, di ujung depan sana ada balkon lagi, kuyakin itu adalah pintu keluar menuju duniaku. Tetapi untuk kesana aku perlu melewati papan kayu seukuran tiga jari orang dewasa yang membentang lebih dari seratus meter panjangnya. Aku yakin melewati papan ini tidak akan semudah itu, itu sangat tinggi dan dengan banyaknya mahluk menyeramkan di bawah sana tentu akan lebih mudah panik.

"Aku harus melewati ini supaya bisa kembali?" Nyatanya itu hanyalah sebuah pertanyaan pada udara kosong, karena tidak ada sama sekali orang yang bisa kutanyai disini.

Aku merasa seperti dijebak, baik itu oleh Annaliese atau nyai Rukmini. Melewati papan itu memiliki kemungkinan sedikit untuk bisa sampai di ujung sana, sedangkan jika kita jatuh maka sudah pasti akan menjadi sasaran empuk untuk para mahluk menyeramkan itu.

Akhirnya mau tidak mau aku harus melewati papan itu, jika tidak melewatinya tentu aku tidak bisa kembali. Dengan perlahan aku menginjakkan kakiku, merentangkan kedua tangan guna menjaga keseimbangan karena gaya gravitasi masihlah berlaku di tempat ini. Aku berjalan dengan sangat pelan dan berusaha sebisa mungkin tidak menatap mahluk di bawah.

Baru beberapa langkah saja, fokusku sudah terpecah karena raungan mereka yang di bawah. Mereka menatap mataku dengan tatapan lapar dan kapan saja siap menerkamku, perasaanku seperti dikacaukan begitu sudah bersitatap dengan mereka. Nafasku memburu begitu juga dengan wajah yang kurasa memanas, aku sangat takut, sangat-sangat takut.

Satu kakiku hilang kendali dan tidak lagi menapaki papan, hal itu membuatku harus terjun ke bawah. Kurasakan perasaan terjun bebas di udara, dengan lelehan air mata yang entah sejak kapan sudah merembes membentuk sungai di pipi.

Apakah akhir hidupku harus semengenaskan ini?

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Dont forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisWhere stories live. Discover now