T i g a B e l a s

4.7K 317 0
                                    

"Le, lo tau nggak gimana rupa iblis?"

Pertanyaanku itu menimbulkan kernyitan di dahi Aleandra, aku hanya ingin memastikan Adamir itu iblis atau bukan. Tetapi sepertinya untuk menceritakan mengenai Adamir pada orang lain termasuk Aleandra, rasanya belumlah saatnya.

"Iblis itu memiliki energi paling kuat, rupa mereka berbeda-beda, tetapi kebanyakan memiliki wajah garang. Ada yang bertanduk, berbadan hewan, punya banyak mata, gue pernah ketemu sama iblis yang seluruh tubuhnya dipenuhi mata." aku bergidik mendengar penjelasan Aleandra.

"Ada nggak yang sama persis kaya manusia gitu?"

"Ya jelas beda lah Lan, tapi iblis itu bisa menyamarkan bentuknya. Misalnya menyamar menjadi manusia, tapi itu tidak bisa lama karena mereka tetap memiliki bentuk asli."

Masuk akal, mungkin yang Adamir perlihatkan padaku bukan bentuk aslinya. Mana ada iblis begitu tampan dan memukau seperti itu, lalu seperti apa bentuk aslinya? Apakah menyeramkan dengan delapan mata di dahinya atau jangan-jangan dia memiliki bentuk tubuh setengah hewan?

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

Aku menggeleng, seperti yang kukatakan tadi jika menceritakan tentang Adamir untuk saat ini belum bisa kulakukan. Biarlah ini menjadi rahasia yang hanya aku seorang tahu, karena sejauh ini Adamir tidaklah berbuat jahat padaku, dia sama sekali tidak melukaiku.

Sejauh ini aku belum menganggapnya sebagai sebuah ancaman.

***

"Kamu baik-baik aja kan? Nggak ada masalah apa-apa?" tanya bunda dengan raut khawatir.

Tentu saja aku tahu maksud dari pertanyaan bunda ini, yaitu memastikan keadaanku mengenai masalah dengan ikatan iblis. Pantas bunda merasa khawatir karena dulu saja saku sampai sakit satu tahun lamanya sebelum pindah ke Malang. Tetapi yang kurasa masih aneh adalah mengenai Adamir yang mengatakan kejadian saat aku kecil bukan karena dia, saat di dalam mimpi itu aku belum sempat meminta penjelasan tetapi dia sudah menghilang entah kemana. Mungkin jika lain kali bertemu dalam mimpi lagi, aku harus menanyakannya dengn jelas.

Mengulas sebuah senyuman guna menghilangkan raut khawatir di wajah bunda, "Tenang aja Bun, nggak ada masalah serius kok akhir-akhir ini."

Bunda terlihat mengawasi sekelilingnya, lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, "Kamu sekarang beneran bisa lihat hantu?"

Aku mengangguk dengan mantap, "Iya Bun."

Di ruangan ini memang ada beberapa mahluk yang tengah menampakan diri, tetapi tidak ada yang menyeramkan atau terlihat akan menyerang. Aku juga tidak berniat memberitahukan pada bunda seperti apa saja mereka, karena aku tahu bunda ini sedikit penakut jika menyangkut hal-hal seperti itu.

"Kamu nggak takut, Alana?"

Meski bukan seorang penakut tetapi awal bisa melihat jelasmemang aku takut, bahkan sampai pingsan di lorong itu, bentuk mereka menyeramkan. Tetapi semakin lama semakin terbiasa, hanya saja aku masih beberapa kali terkejut jika mereka menampakan diri secara tiba-tiba atau jika ada yang memiliki wajah hancur.

"Nggak Bun, enggak serem kok."

"Kemarin waktu ke gudang denger suara cewek nyanyi terus Bunda lari deh, Bunda jadi takut."

"Beneran Bun?"

"Iya, belakang gudang itu tanah kosong, rumah kita ini jaraknya juga jauh dari rumah tentangga dan nggak mungkin yang mbok Ijah nyanyi."

"Alana cek ya, Bun."

"Jangan! Nanti kamu diapa-apain sama hantunya."

Sepertinya dari perspektif Bunda, mahluk halus itu selalu berbuat jahat dan akan membunuh. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, tetapi kita ini hidup berdampingan dengan mereka, saling berbagi tempat hanya saja kita dibatasi dinding tak kasat mata agar tidak bisa melihat mereka.

"Enggak Bunda, kan cuma ngecek, nanti Alana kasih tahu bentuk hantunya kaya apa, biar Bunda nggak takut lagi kalau mau kesana."

"Kamu hati-hati ya, bunda tunggu sini."

Aku mengangguki kalimat bunda dan langsung membawa langkahku menuju ke arah belakang. Sepanjang perjalanan hanya satu yang kurasa aneh, seorang wanita yang berlalu lalang menembus tembok, bentuknya tidak terlalu jelas karena ia begitu cepat. Entah apa yang dia inginkan, aku tidak mengetahui begitu jelas karena ia juga sama sekali tidak mendekat padaku untuk berkomunikasi.

Aku telah sampai di gudang, begitu membuka pintu, tidak ada apapun yang aneh disini. Hanya ruangan luas yang terisi sedikit barang-barang, aku juga tidak tahu mengapa pemilik rumah sebelumnya mendesain gudang yang lebih luas dari dua buah kamarku. Memang hanya terisi sedikit barang, karena sejak kami pindah tidak banyak barang yang tidak terpakai dan harus diletakan disini, yang menarik perhatianku adalah satu set meja makan yang tertata rapi tanpa debu sedikitpun juga nampak begitu bersih.

Awalnya kosong dan sama sekali tidak ada mahluk apapun, sebelum seorang wanita datang dan duduk di kursi meja makan. Ia menggunakan gaun khas belanda, rambut pirangnya tergelung ke atas dengan sebuah hiasan kecil di atas kepalanya. Pembawaanya sangat anggun, begitu juga dengan wajah bule yang cantik dan lipstik merah yang menghiasi bibirnya.

Apakah ini yang disebut hantu noni belanda? Aku juga tidak tahu, dia ini jenis apa, yang jelas bukan manusia meski yang kini kulihat adalah jelas seorang manusia.

"Apakah kamu yang sering bernyanyi?" tanyaku guna membuka pembicaraan.

"Kau bisa melihatku?"

Aku mengangguk, lalu dengan perlahan mendekatkan diriku. Aku duduk di kursi sebelahnya, dan dari jarak sedekat ini perempuan ini semakin nampak cantik. Mendengar logatnya yang begitu fasih, kurasa dia bukanlah berasal dari belanda. Mungkin saja kedua orang tuanya dari belanda tetapi ia dilahirkan disini, atau ayahnya seorang belanda lalu ibunya pribumi.

"Namaku Annaliese Joanna Federick, siapa namamu?" ucapan itu terdengar begitu ramah.

Kata Ale yang terlihat baik belum tentu baik, tetapi menurutku Annaliese ini tidak memiliki aura aneh, justru menatap wajahnya terasa begitu teduh. Berbeda dengan Kalina yang beberapa wakti lalu aku lihat di sekolah, meski terlihat sangat baik, tetapi kilatan matanya berbeda, memang pantas jika sewaktu-waktu Kalina akan lepas kontrol saat mengingat masa lalunya.

"Aku Alana, aku baru saja pindah beberapa minggu lalu. Apakah kamu sudah lama disini?"

"Tidak tahu kapan tepatnya, tetapi memang sudah lama."

Annaliese menatapku lekat-lekat, seperti menelusuri seluruh bagian tubuhku. Aku tidak mengerti maksud dari tatapan itu, mimik wajahnya juga kini sudah nampak berbeda.

"Kenapa ada yang aneh dengan dirimu?"

Dahiku mengernyit, "Aneh?"

Annaliese mengangguk, dia meraih lengan kiriku, rasa dingin seperti es kurasakan begitu kami bersentuhan. Tanganku terangkat karenanya, tetapi anehnya aku tidak merasakan tangannya benar-benar menyentuhku hanya rasa dingin itu yang membuat tanganku melayang. kulihat sorot mata Annaliese ternyata tertuju pada jari manisku, entah apa yang membuatnya tertarik padahal aku tidak mengenakan sejenis cincin atau apapun itu.

"Ada apa Annaliese?"

"Bagaimana bisa ada benang merah yang terlihat," ucapan itu disertai raut kebingungan.

Aku juga turut tidak paham dengan ucapannya, jelas-jelas aku tidak melihat apapun disana. Tetapi dia mengatakan benang merah, jangan-jangan ucapan Adamir tentang benar merah antara kami berdua itu memang nyata?

"Apakah itu benar-benar benang merah?"

"Alana, maukah kau ikut denganku sebentar untuk menemui seseorang?"

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Dont forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang