T i g a P u l u h L i m a

3K 262 9
                                    

Bulan memancarkan cahayanya yang begitu terang, jika bukan melihat dengan mataku sendiri, aku akan mengira jika itu adalah bulan buatan. Ia terlihat begitu dekat dan menggantung dengan gagahnya di atas langit.

Entah mengapa setiap aku kesini pasti sang raja malam itu yang bertahta, ah aku lupa jika mereka melakukan aktivitas di malam hari. Mungkin siang hari akan sangat sepi dan tidak ada yang beraktivitas.

"Lan," panggilan itu membuatku mengalihkan perhatian. Aku tersenyum pada Adamir yang datang menghampiriku.

Saat ini kami tengah berada di balkon tinggi yang berada di istananya, ini menghadap ke sebuah perbukitan dengan bulan yang menggantung rendah. Sedangkan jika kita berada di sisi yang lainnya, maka kelap-kelip lampu bisa kita lihat memancar dengan sangat jelas.

"Katanya kamu akan pergi mengurus sesuatu dengan cukup lama, kenapa sekarang sudah kembali?"

Adamir sempat mengulas sebuah senyuman sebelum menjawab pertanyaanku.

"Aku merindukanmu."

Meski kalimat itu membuat hatiku berbunga tetapi aku tentu tidak langsung jatuh terbuai. Aku memang belum lama mengenal Adamir, tetapi wajahnya ini seolah diciptakan untuk tidak bisa berbohong. Aku bisa melihat raut wajahnya yang nampak tidak baik-baik saja, seperti ia tengah banyak masalah.

"Kau tengah memiliki masalah?"

Adamir menggeleng, dia sepertinya tidak ingin bercerita. Atau mungkin perasaanku saja? Semoga memang perasaanku dan semoga saja memang dia tidak memiliki masalah.

"Alana apa kau percaya takdir?"

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan itu, Adamir justru menjawab dengan jawabannya sendiri.

"Kau harus percaya jika kita memang memiliki takdir untuk bersama."

Aku tahu itu, ikatan benang merah yang memang tidak bisa kulihat tetapi dengan semua kejadian yang selama ini terjadi aku sadar jika ikatan itu memang ada, bukan mengada-ada.

Tetapi seberapa kuat pun ikatan itu, dunia kita berbeda. Satu-satunya cara untuk bersatu adalah aku ikut dengannya tetapi aku tidak akan pernah bersedia. Aku memiliki dunia sendiri, aku juga memiliki keluarga yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja.

"Tapi aku tidak mau ikut bersamamu," jawabku dengan jujur.

"Hidup abadi memang bukanlah hal yang baik, tapi aku berjanji akan membahagiakanmu Alana."

Aku terdiam, bukankah beberapa waktu lalu Adamir mengatakan jika ia tidak akan memaksaku untuk ikut ke dunianya. Tapi mengapa sekarang ia mulai berubah.

"Bukankah kau pernah mengatakan tidak akan memaksaku?"

Hening,

Adamir diam dengan pandangannya yang lurus ke depan, melihat bagaimana bulan bertahta di langit. Cukup lama keheningan ini sama sekali tidak dipecah, hingga hembusan napas kasarnya yang disusul dengan sebuah  jawaban.

"Benang merah kita selamanya tidak bisa terputus, Alana. Aku tidak ingin hal di masa lalu terulang lagi."

"Hal di masa lalu?"

"Kau tidak mengerti Alana, tapi intinya aku tidak ingin berpisah denganmu."

***

"Lan, ngelamun aja Lo. Mau pesen apa?"

Aku kembali ke kenyataan, menenggelamkan lamunan yang sedari tadi menemaniku.

"Bakso aja Bi, kaya biasa."

Saat ini aku Ria dan Biaca tengah berada di kantin, karena jam istirahat telah tiba. Tetapi sedari pagi aku memang tidak fokus, baik saat pelajaran atau saat ini.

Aku memikirkan tentang Adamir yang sedikit aneh setelah kembali dan Aleandra yang ternyata hari ini belum masuk sekolah juga. Ini adalah hari ketiga Aleandra tidak masuk, bahkan nomornya tidak aktif dari kemarin. Aku tentu sedikit khawatir. Mungkin nanti aku harus minta alamat Aleandra ke wali kelas agar bisa datang menjenguknya.

"Eh kalian tau nggak soal Gea?" Pernyataan itu berasal dari Biaca yang memang hobi sekali bergosip.

Aku menggeleng, selain aku adalah murid baru, aku memang tidak terlalu kepo dengan berita-berita disekolah. Masalah hidupku saja sudah rumit, tida ada waktu untuk mencari tahu masalah orang lain.

"Kenapa emangnya?" tanya Ria.

"Gue denger-denger dia hamil udah lima bulan terus dia bunuh diri, tapi dia malah nggak mati dan sekarang ada di rumah sakit. Eh tapi kalian diam-diam aja ya, belum ada yang tau soalnya."

"Loh yang bener Lo, bukannya Gea anaknya pendiam banget?" tanya Ria.

Gea adalah anak kelas sebelah, aku tidak cukup dekat dengannya hanya tahu saja, bahkan belum pernah mengobrol.

"Ya justru itu yang aneh, kelihatan pacaran aja enggak, masa tiba-tiba hamil lima bulan."

"Eh bukannya dulu Gea deket banget ya sama Ale? Jangan-jangan Ale yang hamilin!" Ria mengatakan itu dengan menggebu.

"Jangan ngawur kalo ngomong, nanti kalo ada yang denger jadi gosip!" Pada akhirnya aku angkat bicara saat Ria mulai membawa-bawa nama Aleandra.

"Enggak ngawur Lan, emang gitu. Dari dulu ya mereka memang keliatan deket, sering banget tuh berangkat bareng. Lo tau sendiri kan Gea itu pendiam dan jarang bergaul tapi justru dia dekatnya sama Ale yang Lo tau sendiri kalo Ale itu orangnya aneh." Ria menjelaskan.

Tentu saja sulit untukku percaya, selama ini aku berteman dengan Aleandra dan tahu jika Aleandra ini adalah orang yang sangat baik. Bukan seorang yang akan melakukan hal bejad.

"Masuk akal juga sih, si Gea pasti di guna-guna sama Ale!" tambah Bianca.

"Wah parah ya, mungkin Ale nggak mau tanggung jawab."

"Ya jelas nggak mau tanggungjawab, udah lima bulan loh tapi belum dinikahin."

"Si Gea emang cantik sih meski jarang bergaul, nggak heran kalo—"

"Gue ke kamar mandi," ucapku memotong pembicaraan mereka, lalu aku segera melangkahkan kakiku pergi.

Aku tidak bisa menerima mereka menuduh Aleandra seperti itu, karena aku yakin Aleandra adalah seseorang yang sangat baik, dia ini sudah berkali-kali menolongku.

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Don't forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang