E m p a t P u l u h T i g a

2.5K 292 37
                                    

Entah sudah beberapa kali aku menggigil kedinginan karena angin yang terus berhembus membawa udara dingin. Entah sudah berapa lama aku berjalan karena nyatanya kakiku ini bukan hanya mati rasa lagi, sudah perih dimana-mana dengan betis yang ungu kemerahan.

Sampai kapan aku akan berjalan dalam ketidakpastian ini? Aku berharap semuanya segera berakhir atau paling tidak ada seseorang yang datang menolongku.

"A-adamir," ucapku yang teralun dengan bergetar.

Nyatanya itu hanyalah sebuah panggilan yang tertuju pada udara kosong, tidak akan sampai ke orangnya karena entah berapa jauh jarak kami terpisah.

Seluruh pikiranku memang langsung tertuju pada Adamir karena memang biasanya Adamir akan datang menolongku saat aku dalam kesulitan. Sedari tadi aku menunggunya datang karena memang dialah satu-satunya harapanku, hanya dia yang bisa menolongku.

Aku memperhatikan lampu minyak di tanganku yang apinya semakin mengecil, menghentikan langkah sebentar lalu aku mengarahkan lampu minyak ke arah lain. Setelah berputar ke kiri, barulah api di dalamnya mulai membesar lagi. Aku lanjut melangkahkan kakiku ke kiri dengan langkah terseok dan pandangan yang sudah mulai tidak fokus.

Hari sudah mulai akan gelap membuatku sama sekali tidak tenang, aku tidak mau jika harus terkurung di tempat ini selamanya. Berusaha mempercepat langkah pun rupanya tidak berguna, pandanganku semakin mengabur dengan dingin yang tidak berkesudahan.

Setelah cukup lama, alih-alih jalan keluar yang aku dapati, melainkan sebuah telaga di tengah pepohonan dengan sebuah jembatan kayu yang hanya ada setengah. Jadi jembatan itu melewati rawa tetapi habis di tengah-tengah bukan sampai ujung.

Aku mengangkat lampu minyak tetapi api di dalamnya jauh lebih besar dari sebelumnya.

"Aneh."

Akupun memberanikan diri untuk berjalan melewati jembatan kayu yang setiap langkahku berpijak terdengar bunyi kriet yang menandakan kayunya sudah tua.

Api terus menyala lebih besar sehingga aku memantapkan diri untuk semakin melangkah. Tetapi aku berhenti saat tiba di tengah yang artinya di depanku ini sudah air, jembatannya hanya sampai disini. Ujung telaga masihlah jauh di depan sana.

Menoleh ke belakang lagi, aku mendapati belantara tanpa ujung yang sedari tadi aku lewati sedangkan saat mengalihkan perhatian ke seberang telaga yang rupanya juga deretan belantara. Tubuhku melemas seketika lalu melihat bayangan air yang entah memiliki kedalam berapa meter.

Mungkinkah air ini jalan keluar?

Sedari tadi aku berjalan berpuluh-puluh kilometer tetapi tidak menemukan ujung dari hutan ini atau barangkali tempat yang lebih terbuka, yang kutemui hanyalah deretan pohon tinggi dengan daun yang rindang sama sekali tidak berubah. Lalu sekarang sebuah telaga yang lampu minyak ini pun apinya membara disini.

Lagi pula tubuhku sudah lemas bukan main, kakiku pegal dan mati rasa sedangkan mataku sudah berkunang-kunang sedari tadi, mungkin efek dari hawa dingin yang kurasakan.

Tidak peduli lagi keputusanku benar atau tidak, aku langsung menjatuhkan diriku ke dalam air. Dapat kurasakan air ini terasa seperti ribuan jarum yang menusuk kulit, begitu perih dan menyakitkan. Itu berlangsung beberapa detik sebelum kesadaranku menurun dengan perlahan.

***

Aku merasakan jika tubuhku digoncang-goncangkan, setiap incinya terasa perih dan nyeri luar biasa. Aku mencoba membuka kelopak mata yang begitu berat, meski dengan perlahan-lahan aku bisa mendapatkan kesadaranku kembali.

"Alana," suara maskulin itu terdengar penuh dengan kekhawatiran.

Begitu aku membuka mata, aku mendapati wajah panik Adamir.

Grebb,

Adamir membawaku ke pelukannya, dapat kurasakan jika pelukan itu sangat erat. Aku tidak bisa menolak karena nyatanya tubuhku sangat lemas, ah jangankan menggerakkan tubuhku, mataku saja terasa berat untuk terbuka lebar.

Cukup lama Adamir memelukku, mungkin itu sampai beberapa menit. Selanjutnya dia melepaskan pelukannya, aku duduk dengan masih bersandar lemah pada tubuhnya. Tubuhku basah kuyup dan mantel hitam Adamir bertengger di bahuku yang untuknya mantel itu dapat memberikan kehangatan.

"Untung saja kau sadar, maafkan aku datang terlambat," ucapnya dengan tangannya menggenggam tanganku.

Aku tidak menjawabnya, tenggorokanku masih terasa sakit dan perih.

Melihat pemandangan di sekitarku, rupanya itu adalah sebuah danau yang cukup luas. Pinggiran danau adalah ilalang dan semak, ada beberapa pohon tetapi tidaklah seperti tadi yang aku lihat. Jadi bagaimana kejadian yang sebenarnya?

"Maafkan aku Alana." Kembali kalimat itu terulang.

Memang sedari tadi aku mengharapkan Adamir datang untuk menolongku, dia tidak datang bahkan setelah aku jatuh dalam keputusasaan.

"Aku takut berada di tempat itu," lirihku dengan suara yang kupaksakan, seolah setiap satu kalimat yang aku keluarkan seperti ada sebuah jarum tak kasat mata yang menghujani tenggorokanku.

Berjalan selama berjam-jam dengan hutan lebat yang aneh itu benar-benar membuatku trauma, selain ada kakek yang membantuku itu, aku sama sekali tidak menemukan manusia atau bahkan mahluk lain disana.

"Kau tenang saja, sekarang aku akan lebih menjagamu."

"S-seluruh tubuhku sakit."

Adamir merengkuhku, mengecup pelan keningku lalu selanjutnya aku merasakan rasa kantuk yang luar biasa. Aku terlelap dalam rengkuhannya.

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Don't forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

SEJAUH INI BAGAIMANA PENDAPAT KALIAN MENGENAI SOSOK ADAMIRApakah dia ini memang tulus atau jangan-jangan hanya mencari perhatian Alana karena punya maksud dan tujuan lain. YUK TEBAK DI KOLOM KOMENTAR, Kalo rame nanti cepet deh up nya.

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 02 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pengantin IblisWhere stories live. Discover now