D u a P u l u h E m p a t

4.2K 299 5
                                    

Sebuah kue ulang tahun rasa coklat dengan lilin bertuliskan angka 17 berada di depan meja, beberapa menit yang lalu aku telah membunuh bersamaan dengan berbagai harapan yang aku ucapkan dan berharap itu akan terkabul suatu saat nanti. Seperti ulang tahun ulang tahunku pada tahun-tahun sebelumnya aku akan merayakannya bersama ayah dan bunda saja, hanya sebuah perayaan sederhana di dalam rumah dengan berbagai hidangan yang dimasak oleh mbok Ijah.

Menurutku hari ulang tahun itu memang sangat penting tapi bagiku merayakan dengan ayah dan bunda saja cukup. Aku tidak menginginkan sweet seventeen party seperti yang sering teman-temanku selengarakan, karena yang terpenting itu hanyalah doa dan harapan saat malam bertambahnya usia.

"Ini kado dari ayah dan bunda," ujar bunda seraya menyerahkan satu kotak berukuran sedang kepadaku.

Tahun lalu ayah dan bunda memberikanku sebuah piano karena saat itu aku sedang gencar-gencarnya latihan bermain piano, tentu aku sangat senang tetapi piano itu harus tertinggal di rumah lama kami di Malang dan belum sempat dibawa kesini semenjak kami pindah.

Sudah kepalang penasaran, aku akhirnya membuka kotak pemberian ayah dan bunda. Ada sebuah sweater rajut yang memiliki lengan panjang dan kerah setinggi leher, ia berwarna perpaduan ungu muda dan merah, kedua warna itu semuanya adalah favoritku.

"Itu hasil karya ayah sama bunda loh."

Aku sedikit terkejut mendengar pernyataan itu, selama ini ayah dan bunda tentu tidak memiliki banyak waktu luang untuk merajut sebuah sweater seperti ini. Lagi pula setahuku baik ayah maupun bunda, sama-sama tidak memiliki keahlian di bidang ini. Jadi rasanya agak tidak percaya jika sweater ini hasil karya mereka, tetapi jika dilihat kembali wajah mereka seperti tidak menyembunyikan kebohongan yang artinya memang ini adalah buatan mereka.

"Beneran? Kapan dibuatnya?" tanyaku penasaran.

"Sebulan terakhir setiap malam kita nyicil buat ini sedikit demi sedikit," sahut bunda.

"Biasa Lan, ide bunda kamu. Katanya hadiah ulang tahun kamu tahun ini harus yang spesial dan meski sederhana, kami rasa ini cukup spesial karena dibuat dengan cinta."

"Kamu suka kan, Lan?"

Aku mengangguk, "Iya Bun, Alana suka banget. Makasih ya."

Tentu saja hadiah seperti ini lebih berharga dari apapun, itu memperlihatkan ketulusan mereka sebagai orang tua yang menyayangiku, aku tidak akan bosa pastinya memakai sweater ini.

"Sama-sama, kami harus sering pakai, kita buatnya susah bukan main loh." canda ayah.

"Siap komandan!"

"Sekarang waktunya potong kue dong, bunda udah nggak sabar ni mau makan."

Aku setuju dengan bunda, aku sedari tadi juga sudah ingin sekali memakan kue ulang tahun coklat yang begitu menggoda itu. Rasa coklat selalu menjadi salah satu makanan terfavoritku, mulai dari minuman, puding dan kue seperti ini, aku lebih suka jika itu rasa coklat bukan yang lain. Setelah memotongnya menjadi beberapa bagian, aku langsung membaginya ke ayah dan bunda, tidak lupa mbok Ijah dan pak Mardi juga kuberikan masing-masing satu potong.

Ternyata aku memakan kue terlalu banyak sehingga membuatku kekenyangan, acara yang seharusnya adalah makan dengam berbagai hidangan di meja membuat tidak mencicipi saru masakan pun, mau bagaimana lagi aku sudah terlalu kenyang, perutku akan meledak jika kembali di isi oleh berbagai hidangan ini. Melihat ayah dan bunda yang baru saja menyelesaikan makan mereka, aku langsung ijin ke kamar, hari sudah malam dan kurasa aku sudah saatnya waktu untuk mengistirahatkan tubuhku.

Saat baru saja membuka pintu kamar aku teringat sesuatu, bukankah Adamir mengatakan akan datang pada hari ini? Aku menyimpan sweater pemberian ayah dan bunda di dalam lemari, selanjutnya aku pergi ke meja belajar untuk mengambil sebuah lukisan yang aku buat beberapa hari lalu.

Aku memiliki banyak sekali pertanyaan, rasa penasaranku ini sangat menggebu mengenai sosok Adamir, aku ingin bertemu dengannya dan menanyakan semuanya karena hanya dia yang memiliki jawaban dari semua pertanyaanku ini. Mungkin hanya sekedar itu, bukan karena penampilan memukau dari Adamir, karena aku yakin sekali jika itu hanyalah tipu dayanya, tidak ada iblis yang setampan itu. Akupun sudah siap jika nanti harus melihat penampilan aslinya yang mungkin saja akan sangat menyeramkan.

"Bukankah kau berjanji akan datang?" monolog ku sembari menatap lukisan itu.

"Aku sudah datang."

Aku tersentak mendengar kalimat itu, segera berbalik dan mendapati Adamir sudah berdiri satu langkah di belakangku. Sejak kapan ia disana, bahkan suara pintu terbuka atau langkah kaki saja tidak sama sekali aku sadari, ah iya aku lupa jika dia bukanlah manusia yang harus membuka pintu terlebih dahulu untuk masuk ke dalam kamar ini.

"Ternyata kamu orang yang menepati janji," sahutku.

"Memangnya kau menganggapku sebagai seorang yang sering menginkari janji?"

"Aku tidak tahu juga sih sebenarnya," jujurku.

Aku belum lama mengenal Adamir, pertemuan kami juga selalu sangat singkat, meski ia mengklaim diriku memiliki ikatan benang merah dengannya tetapi tetap saja aku belumlah mengenalnya.

"Banyak sekali yang ingin kutanyakan sampai aku bingung akan bertanya yang mana terlebih dahulu." keluhku.

Memang iru benar, aku tidak tahu harus mulai dari mana, kepalaku ini penuh dengan pertanyaan yang meminta jawaban sesegera mungkin karena yang bersangkutan sudah berada di hadapanku.

"Kau bisa bertanya satu persatu aku akan menjawab semuanya."

"Baiklah ak—"

Kalimatku menggantung di udara karena tiba-tiba ia mengangkat tubuhku dengan kedua tangannya, aku terkejut tetapi seakan membatu aku tidak bisa berucap agar dia menurunkanku.

"Tapi tidak disini, aku akan membawamu ke suatu tempat terlebih dahulu."

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Dont forget to click the vote button!

════════ ❁ཻུ۪۪ ═══════

Jika ada pertanyaan tuliskan saja di kolom komentar, terima kasih sudah mampir di cerita ini silahkan tunggu episode selanjutnya ^_^

And, see you.

Pengantin IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang