PROLOG : TISYA

878 104 31
                                    

Banyak yang bilang, Tisyandrina Tamareta Nuriyan itu punya teman di mana-mana. Tiap hari selalu ada aja yang menyapa. Mulai dari timur sampai ke barat gedung, tak henti-hentinya Tisya melambaikan tangan untuk membalas sapaan setiap teman-temannya.

"Tisya!" sapa orang pertama saat Tisya baru saja keluar kelas.

"Tiiisya!" panggil orang ketiga saat Tisya turun tangga dari lantai dua.

"Tisyaaa!" teriak orang kesekian saat Tisya sudah menginjak gerbang utama.

Tak lupa, Tisya selalu menjawab dengan lantang dengan lambaian tangan. "Iyaaa!"

Sudah menjadi kegiatan pasti sehari-hari. Rasanya seperti menjadi artis. Tengok kanan ada yang sapa, tengok kiri ada yang berteriak. Tisya bahagia dengan hidupnya selama bersekolah di SMP.

Sayangnya, hari ini adalah hari terakhirnya bersekolah di sana. Dalam kurun waktu beberapa bulan, mungkin Tisya sudah berpindah tingkat sekolah. Ya, SMK.

Cewek dengan rambut yang dikucir kuda itu berjalan dengan gembira pulang ke rumahnya yang tak terlalu jauh dari sekolah. Biasanya, dia pulang bersama Baza, tetapi semenjak hubungannya berakhir, dia menjadi selalu pulang sendiri. Sepertinya akan terus begitu sampai kelulusan.

Tisya bergumam untuk membela dirinya setiap kali teringat dengan Baza, "Yah, siapa suruh cuekin cewek kayak gue."

Satu hal lagi, selain banyak teman, Tisya juga banyak mantan. Anak itu terkadang dibilang aneh oleh teman-temannya, sebab dia suka sekali bermain dengan perasaan orang-orang. Tahu-tahu sahabatnya sendiri pun dijadikan pasangan, Erbaza Damagara namanya, si cowok yang tidak banyak bicara dan lebih suka keheningan. Namun, hubungan mereka baru saja berakhir karena alasan sepele.

Suasana sekolah yang ricuh mendadak berubah ketika dirinya sampai di halaman rumahnya. Terlihat sepi, dingin, dan gelap. Tisya pun membuka sepatunya, mengetuk pintu sekilas, dan berjalan masuk ke dalam rumah. Perasaannya juga berubah setelah melihat tak ada satu pun orang yang menyambutnya.

Ayah dan Ibunya kali ini pulang makan siang, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir mereka untuk menyambutnya. Tisya bergeming, menunggu panggilan. Namun, yah, tetap saja, mau menunggu apa? Lantas cewek itu berjalan masuk ke dalam kamarnya.

Beberapa menit kemudian, kedua orang tuanya yang telah selesai makan siang bersama bersiap-siap untuk kembali bekerja. Tisya yang saat itu sedang makan pun ditinggal lagi, tanpa sepatah kata.

Tisya berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya ke luar. "Bu, nanti pulang jam berapa?"

Tak ada balasan dari ibunya.

Lanjut, Tisya merecoki ayahnya dengan pertanyaan yang sama. "Pak, pulang jam berapa?"

Ayah Tisya menjawab dengan ketus, "Ya kayak biasalah."

Kedua orang tuanya pun berangkat dengan motor terpisah menuju tempat kerja masing-masing. Hanya Tisya sendiri di rumah itu sekarang. Kakak perempuannya pun sudah menikah dan ikut dengan suami. Tentunya sebagai anak bungsu ekstrovert yang ditinggal kerja orang tua bukanlah hal yang mengenakkan, sebab Tisya tidak suka dengan yang namanya sepi.

Tisya makan tergesa-gesa begitu mengingat sebuah rumah kedua. Usai makan, dia keluar dan mengunci pintu, lantas berlari menuju sebuah rumah besar bak istana yang berada di ujung jalan. Dia membunyikan bel pada pagar dan disambut oleh satpam rumah tersebut. Langkahnya semakin cepat melintasi halaman yang luasnya bagai halaman sekolah. Senyum Tisya merekah saat penjaga rumah itu sudah hapal dengan wajahnya, membukakan pintu tanpa bertanya.

Inilah rumah sahabat barunya, Haryandio Baratama si anak tunggal kaya raya yang orang tuanya punya banyak usaha. Tisya sering mampir ke sini untuk mencari suasana keluarga yang dia harapkan. Selain keluarga, rumah Haryan itu adem, banyak air conditioner dan lengkap dengan Wi-Fi, membuatnya hidup berasa menjadi anak orang kaya juga.

Begitu langkahnya sampai di ruang makan, Tisya langsung disambut dengan kedua orang tua Haryan layaknya orang tua sendiri. Dia bahkan dipersilakan duduk dan makan siang bersama mereka. Tisya makan lagi tentunya, tidak mau menolak rezeki atas makanan lezat yang disediakan di atas meja. Lagi, senyumnya merekah, merasakan kehangatan di keluarga yang berbeda.

"Tisya kalau siang, boleh, kok, pulang ke sini langsung. Di rumah nggak ada Bapak sama Ibu ya?" tanya Rianti, ibunya Haryan.

"Kadang-kadang Tante, tapi habis itu berangkat lagi, jadi sepi. Tisya nggak suka sepi."

Rianti manggut-manggut. "Kalau begitu, kamu boleh, kok, main ke sini tiap hari. Soalnya si Haryan juga anaknya suka protes kalau nggak ada temen main."

Mendengar namanya disebut, Haryan yang sedang asik makan mendongak. "Loh?" Dia tidak merasa dirinya selama ini protes.

"Oke Tante," jawab Tisya semangat sambil tersenyum lagi, lebih lebar. Asyik sekali sudah mendapatkan izin untuk mampir ke rumah mewah ini setiap hari.

"Baza juga Tante ajakin untuk main ke sini setiap hari, jadi kalian nggak berdua doang," tambah Rianti yang mengakibatkan senyuman Tisya menghilang, lenyap seketika.

Haryan menahan tawa sambil tetap makan. "Siapa suruh pacaran sama sahabat sendiri, masih SMP lagi, rasain," lirihnya yang dapat didengar Tisya dari samping.

Tisya menghela napas sebal.

"Loh, kalian nggak setuju?" Rianti bertanya lagi.

"SETUJU MA," balas Haryan amat bersemangat, sengaja membuat Tisya tidak mampu bersuara. Sembari lanjut makan, dia menahan tawa.

Habislah, Tisya akan bertemu Baza setiap hari.

~ Tisya dan Tisyu ~

Akhirnya aku bisa ketik cerita baru lagi guys setelah dua bulan🤗

Yah, jadi inilah cerita Tisya. Cerita pelengkap, cerita spontan, dan cerita apa adanya. Just let it flow~

Semoga suka, Aamiin. Tinggalkan vote dan komentar di setiap part-nya ya. Terima kasih.

Jumpa di part berikutnya!

Tisya dan TisyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang