41 - Satu yang Pantang Menyerah

114 42 26
                                    

Sekolah mulai kembali beroperasi. Tisya, Haryan, dan Baza akhirnya sampai di tahun terakhir mereka bersekolah. Mereka sudah kelas dua belas, tahun depan lulus. Seperti biasa, semester awal biasanya dipadatkan dengan kegiatan tujuh belas Agustusan, memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Haryan sebagai anggota OSIS dan Baza sebagai siswa Jurusan Multimedia tak kalah sibuk. Keduanya menjadi tim dokumentasi yang harus sigap menangkap momen sekilas untuk diabadikan di Instagram dan website sekolah. Sementara Tisya, bersama teman-temannya hanya sibuk menjadi penonton, paling hanya ikut lomba kebersihan kelas, karena wajib, sudah. Tidak ada yang menarik.

Namun, itu jauh lebih baik daripada harus menghitung uang gaib dalam soal-soal Jurusan Akuntansi hingga deg-degan dengan nominal yang belum tentu balance atau seimbang di antara debet dan kreditnya.

Menyebalkan sekali ketika mengerjakan soal akuntansi, ternyata tidak balance, bisa selesai mereka. Harus mengulang dari awal atau berbolak-balik dengan banyak lembaran soal, mengalanisis sampai kepala rasanya hampir terbelah dua.

Tisya dan Shinka berdiri di kelas mereka yang lagi-lagi mendapatkan posisi di lantai dua, mengharuskan mereka menaiki tangga setiap hari. Lelah ya lelah, tetapi kalau sudah ada event sekolah begini, sangatlah menyenangkan. Tidak perlu berjinjit untuk menonton di depan panggung, cukup duduk di depan kelas saja.

"Tisya!"

Ketenangan batin itu tidak berlangsung lama ketika Tisya mendapati Patru memunculkan diri. Dengan pandangan memohonnya, dia mengulurkan tangan, memberi kode yang sangat jelas. Balikan. Tak habis-habis.

Shinka maju, dia berdiri di antara Tisya dan Patru. "Ngapain, mau balikan? Sudah beda agama, masih nggak tau diri?"

Sadis memang ucapannya.

Menggaruk tengkuk, Patru hanya menyengir, memilih mengabaikan Shinka. Dia melirik Tisya lagi. "Mau ikut aku keliling sekolah, Tisya?"

Masih pakai "aku" bukan "gue". Boleh jadi Patru memang masih berharap Tisya akan kembali kepadanya. Heran juga, orang satu itu tidak lelah-lelah. Padahal, berharap kepada manusia terkadang hanya akan mendatangkan luka.

Tanpa menjawab, Tisya hanya menggeleng, kemudian lanjut menonton lomba menyanyi di lapangan bawah. Sementara itu, Patru tak pergi-pergi. Dia malah ikut menonton bersama Shinka dan Tisya.

"Jagoan kalian siapa?"

"Si Aldo, anak mulmed," kata Shinka, "suaranya adem. Gue nggak terlalu suka sama Kakang, kalau nyanyi malah sibuk tebar pesona, emang ganteng, sih, tapi...."

"Tisya?" Cowok dengan rambut belah kanan itu melirik Tisya lagi.

Lagi, tanpa menjawab, Tisya hanya menggeleng. Dia bingung, nanti kalau dia jawab, Patru malah merasa sudah diberi lampu hijau. Dia diam juga tidak enakan. Serbasalah.

Tisya melihat ke dua orang pembawa kamera alias para orang yang mendokumentasi kegiatan sedang berdebat di ujung lapangan. Siapa lagi kalau bukan Baza dan Haryan? Dari lantai dua, ciri-ciri dua orang itu terlihat jelas. Baza dengan jaket biru tuanya dan Haryan dengan rambut ikal ciri khasnya. Tanpa berpamitan, dia turun dari gedung, berlari ke arah mereka.

Shinka menatap Patru dengan ekspresi merendahkan. "Mending lo nyerah, bro. Kalian beda agama."

"Terserah!" Patru ikut turun, mengikuti Tisya.

Tisya telat datang. Langkahnya sampai di hadapan Haryan dan Baza di saat keduanya sudah selesai berdebat. Masalahnya sepele, Baza tadi melihat Aunia berada di sekitar sekolah. Mendengarnya, Tisya menghela napas kasar.

Kenapa cowok-cowok yang dia kenal rata-rata susah move on? Baza masih gampang kepikiran dengan Aunia, sementara Patru masih terobsesi dengan dirinya. Haryan sendiri, masih menggalaukan Rilda. Ya Tuhan, para remaja ini sungguh-sungguh bikin kepala pusing.

Tisya dan TisyuWhere stories live. Discover now