07 - Sayang Ada Orang Lain

198 55 13
                                    

Bohong saja kalau keluar dari rumah Haryan, Tisya tidak menangis. Sekali lagi, bohong saja. Dia sedikit terkejut dengan pengakuan Baza di rumah Haryan tadi. Rasanya, seperti sudah tidak ada harapan lagi. Memuakkan.

"Baja, balikan yuk?"

"Ogah," jawab Baza.

"Bagus anak muridku." Haryan merangkul Baza dengan bangga.

Mengapa rasa dalam dada Tisya tidak pernah hilang? Padahal dia sudah selingkuh dan anehnya malah dia yang gagal move on ke Baza. Memang segitu besarkah pengaruh pesona cowok bertubuh proporsional, rahang tegas, dan beralis tebal itu? Haha, ya ampun.

Dalam perjalanan menuju rumah, biasanya Tisya menyempatkan diri untuk mampir ke halte bus dekat sebuah sekolah TK, tempat di mana dia, Haryan, dan Baza pertama kali bertemu karena arisan ibu-ibu sosialita. Dulu mereka masih kecil, masih polos, dan gampang sekali berteman. Kemudian, ketika sebuah bus datang, mereka malah langsung pergi bersama tanpa memikirkan ibu mereka dan memilih bermain di taman kota hingga lupa waktu.

Tisya ingat saat itu, ibunya Haryan sampai menangis karena kehilangan berliannya. Haduh, Tisya masih ingat rasa iri itu. Ibunya mana pernah khawatir tentangnya. Los.

Cewek berambut lurus itu sekarang menangis di halte bus, sesunggukan. Dia tumpahkan semua, mumpung tidak ada orang. Ketika sudah puas, cepat-cepat dia keluarkan tisu dari saku dan mengusap wajahnya. Dalam sekejap, senyum ceria Tisya kembali. Lantas, dia melanjutkan perjalanan menuju rumah dan menemukan hal yang benar-benar biasa.

Dia melihat wanita yang usianya sekitar 36 tahun di depan rumah, sedang memakai sepatu berwarna merah. Tak lupa, sebuah tas mahal yang berwarna sama tersampir di bahunya. Rambutnya yang bergelombang pun berwarna merah kecoklatan. Wanita itu sepertinya terobsesi dengan warna merah.

Wah, penguras duit bokap yang terbaru, pikir Tisya.

Tisya menghela napas, menghampiri wanita itu tanpa salam. "Tante selingkuhan keberapa bapak saya?"

Wanita itu mengernyit. "Permisi, selingkuhan?"

Tiba-tiba Setya, ayah Tisya datang dari dalam rumah dan tidak lupa membentak, "Nggak usah ikut campur kamu, masuk!"

Tisya mengiakannya saja, masuk tanpa menghilangkan senyum licik dari wajah. Ketika pintu tertutup dan ayahnya sudah pergi dari sana, lagi-lagi Tisya syok untuk yang kesekian kalinya.

Dia mau menangis lagi, tetapi dia sadar bahwa tangisan tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kepalanya sudah sakit dipakai menangis terus, lalu tisu-tisu wajah juga sudah banyak dia gunakan untuk mengusapnya. Bagaimana jika uang untuk membeli tisu dia simpan saja? Dia pun cepat-cepat membersihkan rumah, mandi, dan rebahan di kasur.

"Ahaha, si Novan tiba-tiba nge-chat lagi," kata Tisya pada diri sendiri sambil manggut-manggut.

Namun, hatinya menginterupsi tindakan. Ada rasa sakit yang masih bercokol ketika teringat dengan cowok gila yang Tisya jadikan pengalihan Baza dulu. Sebenarnya Tisya sama sekali tidak memiliki rasa terhadap cowok yang namanya terinspirasi dari bulan November itu, dia hanya memanfaatkannya saja agar Baza cemburu. Semua ini karena amarah. Ya, amarah yang membuatnya melakukan tindakan gila ini.

Amarah karena pertanyaan mengapa dia harus dilahirkan dari keluarga seperti ini. Amarah karena Baza selalu mendiamkan dia, padahal dulunya cowok itu selalu mengucapkan janji-janji cinta monyet yang tak dapat dipegang hingga membuat Tisya kecewa sendiri. Kumpulan amarah itu akhirnya dia tumpahkan kepada Novan sebagai korban.

Tisya nekat selingkuh dengan Novan karena ingin membuat Baza cemburu, tetapi malah tidak dihiraukan. Sama seperti yang kedua orang tuanya lakukan yaitu saling selingkuh, tetapi tidak berpisah. Tisya terpaksa mengeluarkan kalimat ultimatum pada Baza, lalu setelah itu dia juga memutuskan hubungan dengan Novan.

Tisya dan TisyuUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum