50 - Mantan vs Mantan?

153 35 7
                                    

Patru tersenyum mendapati cewek itu sedang bersembunyi. Dia tadi sempat menarik sebuah tangga di belakang rumah dengan susah payah hanya untuk mengintip melalui ventilasi. Usahanya ternyata tidak sia-sia.

Dengan degupan jantung tak terkira, Tisya akhirnya membuka pintu rumahnya dan keluar. Dia tak mau membiarkan cowok itu masuk. Dalam hati dia berdoa kepada Tuhan, semoga Baza cepat datang dan menolongnya.

Patru dengan senyuman semringah menyerahkan sebuah hadiah ke Tisya. "Aku paham kenapa kamu sembunyi tadi."

Tisya terkejut.

"Kamu sudah nggak mau ketemu aku, kan? Ya sudah, nggak papa." Patru menarik tangan Tisya untuk menerima hadiah itu. "Anggap aja ini permintaan maaf karena tindakanku di pagi tadi. Aku harap kita masih bisa terus lanjut kayak biasanya."

Yang diajak bicara jadi tidak bisa berkata apa-apa.

"Aku denger rumor dari Candra, anak Jurusan Multimedia, katanya sahabat kamu itu... ada acara ya?" Patru bertanya. "Aku boleh ikut? Aku pengin hadirin acara prom night sesekali sama kamu. Makanya aku belikan ini."

Tisya masih belum mau menjawab apa pun, memilih untuk menggaruk kepala.

"Coba buka," titah Patru yang membuat Tisya semakin tidak enak rasa. "Candra datang nanti malam sama Rilda. Oh ya, kamu deket sama Rilda, kan?"

Dari mana ni cowok tau coba? pikir Tisya yang semakin curiga dirinya telah diperhatikan secara mendalam oleh Patru selama ini.

"Kita bisa aja datang bareng-bareng nanti. Mau, ya? Jadiin aku pasangan kamu, ya?" Ajakan Patru terdengar sedikit memaksa. "Tisya... ayo bicara."

"Rencananya aku nggak mau datang Pat," jawab Tisya pada akhirnya.

"Oh ya? Kenapa? Kamu sebenernya mau, kan, datang? Cuman, kamu nggak mau bawa aku aja," tebak Patru, tepat sasaran. "Kamu terlalu malu bawa aku yang sudah bikin riuh satu sekolah tadi."

"Nggak, bukan begitu."

"Kamu terlalu malu bawa aku yang udah nggak punya keluarga ini."

"Pat...."

"Kamu terlalu malu bawa aku yang kalah keren dibandingkan dua sahabat kamu."

"Pat, udah!" Tisya membentak. "Bukan begitu! Jangan bikin aku tambah pusing, deh. Ada banyak alasan, Pat. Bukan yang kamu sebut itu. Kita itu beda agama. Apa lagi yang mau diharapkan? Cukup." Intonasi bicaranya perlahan merendah.

Patru menunduk, diam cukup lama. "Memang lebih bagus aku mati aja."

Tisya mendelik. Ingin rasanya dia berteriak. Namun, dia memilih untuk menarik napas dalam, menutup mata, lalu berdecak samar-samar.

Emosinya sudah meluap. Entah kesulitan apa yang dihadapi Patru dalam hidupnya, Tisya tidak bisa mengerti. Karena jujur saja, mereka berdua memiliki nasib yang sama, diacuhkan dan ditinggalkan keluarga. Sama-sama sakit. Sama-sama kurang perhatian. Sama-sama hampir gila menghadapi kejutan kehidupan.

Sekarang rasanya, tidak ada jawaban lain untuk menghentikan langkah Patru. Rasanya, semua tolakan Tisya pasti akan berpusat kembali pada jawaban "lebih baik mati"-nya Patru.

"Makasih Tisya," kata Patru tiba-tiba, "aku sudah temukan alasan yang tepat untuk berhenti ngejar kamu lagi." Dia tertawa kecil kemudian. "Karena sepulang dari sini aku bakal...."

"Mati," sambung Tisya dan Patru serempak.

Cewek dengan rambut yang dikucir satu itu cepat menggeleng. Bisa bahaya kalau cowok satu ini bunuh diri hanya karena dia tolak. Bisa menambah masalah baru, tentunya. Tisya tidak mau diinvestigasi macam-macam sebelum ujian ujian kelulusan.

Tisya dan TisyuOnde as histórias ganham vida. Descobre agora