53 - Rasa yang Salah

166 39 25
                                    

Baza bersembunyi di balkon lantai dua, di seberang kamar Haryan. Balkon itu tepat sekali menghadap ke jalan raya kota, menyuguhkan pemandangan yang memanjakan mata. Kerlap-kerlip lampu bangunan dengan beragam warna, kendaraan yang berlalu lalang, dan bintang di langit mampu membuat Baza dapat mengalihkan pikirannya. Cowok dengan tuxedo berwarna navy itu menghela napas panjang-panjang, setelah merutuki diri yang sebegitu beraninya mengungkapkan perasaan di saat yang tidak tepat.

Baza mengusap wajah dengan satu tangan dan menghela napas lagi, lebih panjang. Jujur saja, dadanya terasa sakit. Apakah dia memang setulus itu mengharapkan Tisya kembali? Apa benar dia membutuhkan Tisya menjadi pasangannya? Atau selama ini dia hanya terpesona, sama seperti cowok-cowok Tisya yang lain? Dan yang pasti, apa pentingnya berbalikan dengan Tisya? Apakah dia siap menanggung masalah yang akan datang nanti? Sekolahnya belum selesai, usahanya baru dimulai, dan mentalnya baru kembali stabil. Apakah dia seyakin itu terlibat hubungan lagi?

"Lo gila kalau masih mau sama gue, Ja."

"Gue nyesel Ja."

"Gue nyesel pacaran. Gue nyesel sama segala hal yang gue lakuin."

Perkataan Tisya tadi terputar berulang-ulang di dalam kepalanya, seperti kaset rusak.

"Bukan cuma lo yang nyesel Tis, gue juga." Baza menjawab segala kilas balik ucapan itu dengan bergumam. Dia mengacak-acak rambut frustrasi.

Pikiran mengantarnya pada angan-angan di luar logika. Andai dia bisa memutar waktu, dia ingin sekali memperlakukan Tisya dengan baik, lebih terbuka, dan lebih mengajak cewek itu berkomunikasi di saat hubungan mereka masih baik-baik saja dulu. Dia berpikir bahwa jika saja dulu perlakuannya baik, pasti Tisya tidak akan seperti ini.

Baza menyalahkan dirinya sendiri. Namun, apa boleh buat? Dia dulu hanyalah seorang remaja tanggung yang masih sangat labil.

* * *

Sekitar lima belas menit Tisya berkeliling mencari keberadaan Baza setelah menghapus dan merias ulang wajahnya. Namun, cowok satu itu sulit sekali ditemukan. Yang dia dapat hanyalah cat calling dari cowok-cowok yang berada di lantai satu. Menyebalkan sekali, Tisya ingin menjambak dan menendang mereka semua.

Akhirnya, demi mengamankan diri dari semua orang, Tisya masuk ke dalam perpustakaan pribadi di rumah Haryan. Dia berteriak sebal, karena merasa tidak ada satu pun orang di rumah itu. "Cowok-cowok pada kenapa, sih?! Mereka semua udah gila, kayaknya!"

Sebuah langkah cepat dari jajaran rak terdengar, membuat degup jantung Tisya berpacu. Mata cewek itu kontan awas, kakinya siap berlari kalau misalnya yang berada di dalam ruangan ini adalah laki-laki aneh. Namun, begitu melihat Haryan yang datang, Tisya menghela napas lega.

"Ada apa?"

"Nggak papa." Tisya menyilang tangan di depan dada. "Ternyata lo aja, gue kira ada orang lain yang dibolehin masuk sini."

"Ya, emang gue aja. Tadi lo protes kenapa? Gue denger soalnya."

"Nggak papa."

"Hah, kenapa, sih?" Haryan menggaruk puncak kepalanya yang mendadak gatal.

Tisya berdecak tak suka ke Haryan. Sambil berputar dia bertanya, "Eh coba liat Yan, dress yang gue pake gimana?"

Yang ditanya hanya bergidik, ogah-ogahan. Itu sudah menjadi tanda pertama, omongan Baza yang tadi tidak benar. "Biar apa kalau gue jawab?" tanya Haryan, masih terkesan malas.

Tisya menghela napas kasar. "Jawab aja dulu!"

"Bagus."

"Yang bener!" bentak Tisya, yang membuat Haryan melangkah mundur ke pintu. "Heh, lo jangan lari juga ya!"

Tisya dan TisyuWhere stories live. Discover now