36 - Segmen Hidup Setelah PKL

117 40 17
                                    

Masa PKL akhirnya selesai, Tisya bisa bernapas lega. Dia kembali ke sekolah dengan sikap yang berbeda dari biasanya. Lebih banyak diam, tidak teriak-teriak, dan tidak lompat-lompat. Benar-benar seperti orang yang berbeda. Bahkan, Tisya sudah jarang tertawa sebulan belakangan, sampai Haryan terheran-heran. Kalau Baza, dia sudah tahu duluan.

Perlu waktu dua minggu bagi Tisya untuk kembali ke dirinya yang dulu, itu pun hanya setengahnya, yang riang dan suka menyapa orang. Sebab dia juga suka dengan dirinya yang sekarang, minimal tahu etika dan tahu diri. Tidak bergantung lagi dengan laki-laki untuk mencari kebahagiaan. Patru saja sudah tidak terpatri lagi dalam ingatannya, hanya kemungkinan 0,01 persen.

Namun, kalau kemampuan berdebat dengan Haryan masih bisa kembali. Bagaimana tidak? Haryan itu menyebalkan kalau sudah bicara dengan intonasi tinggi, Tisya jadi ingin ikut-ikutan, cukup Baza saja yang menjadi penengah.

Perihal hubungan pertemanan Tisya dan Liza, sudah tidak bisa sama seperti dulu lagi. Shinka mengajak Tisya pindah tempat duduk, di barisan yang sama dengan Zafri, biar lebih aman. Liza bahkan tidak pernah menyapa Tisya juga, paling-paling harus Tisya duluan yang mulai, lalu cewek itu membalasnya dengan alis naik turun, sudah.

Tisya tidak akan pernah bisa kembali berteman baik dengan Liza, entah sampai kapan.

Sering kali, Tisya memimpikan masa PKL saat tertidur di malam hari. Rata-rata mimpi buruk. Dia memimpikan dirinya bertengkar hebat dengan Liza, sampai merusak seluruh fasilitas kantor. Kadang dia juga memimpikan masalah PKL tidak selesai-selesai sampai sekarang. Sangat ricuh, membuatnya takut kalau misalnya itu terjadi benaran. Tak jarang, dia menangis di dalam mimpi, membuatnya terbangun dengan air mata. Dia sampai heran, semenyeramkan itukah masa PKL-nya hanya karena satu orang?

Sehari setelah mimpi, Tisya mendapat sebuah pesan dari nomor tidak dikenal, lebih tepatnya nomor yang dia hapus setelah dia menyadari orang itu pernah melupakannya di antara para karyawan keren.

Tisya menyalakan layar ponselnya begitu berdering, pertanda pesan masuk. Namun, seperti biasa, di beberapa waktu layar ponselnya akan delay sementara dan menjadi lelet. Ponselnya seperti mati rasa, tidak bisa dikendalikan, bahkan membuka telepon darurat tak mau.

Tisya harus sabar bila penyakit ponselnya sejak disembunyikan saat PKL itu kambuh. Jika dia ingin cepat memakai ponsel, mau tidak mau Tisya menepuk layarnya sampai berbunyi kencang.

Plak!

Plak!

Plak!

Barulah layarnya bisa dikendalikan. Kalau beruntung, terkadang sekali tepuk langsung bisa dipakai, tetapi sering kali harus ditepuk lebih dari tiga kali sampai telapak tangan Tisya memerah. Memang ponselnya ini aneh, giliran dikerasi malah bisa dipakai.

Sebuah pesan terlihat di daftar notifiksi ponsel.

+62831xxxxx:
Tis

Lo udah kelar laporan PKL-nya?

Tisya tahu benar itu nomor Liza.

Setelah di hari-hari PKL pesan selalu diabaikan, mengganti nomor, sehabis PKL juga jarang menyapa, akhirnya Liza kembali tanpa kalimat pembuka. Langsung saja. Salam tak ada, perkenalan nomor baru setelah disindir oleh Kak Nadim tempo hari juga tak ada.

Minimal seperti, "Tis, ini Liza, nomor baru. Gue mau tanya boleh Tis? Lo sibuk nggak? Sorry ya baru hubungin sekarang, soalnya...," dan seterusnya.

Tisya tahu mereka teman dekat dulunya. Namun, setelah PKL berakhir, rasanya seperti ada yang terputus.

Untungnya pesan itu dikirim saat siang sepulang sekolah. Shinka kebetulan mengajak Tisya untuk makan bakso di warung makan seberang pagar pembatas gedung Jurusan Multimedia, ada teman-teman Rilda juga di sana, cekikikan lupa dunia sudah biasa.

Tisya dan TisyuWhere stories live. Discover now