23 - Para Manusia Suportif

152 40 18
                                    

Tisya menangis di dalam toilet perempuan, sejadi-jadinya. "Jangan minta balikan gitu, dong, gue nggak tega nolak jadinya. Kayak apa ini? Nggak suka, ah!" omelnya di depan cermin.

Walau sudah muak dengan yang namanya drama putus dan pacaran, hatinya tidak bisa berbohong kalau soal mengikhlaskan kepergian seseorang. Sayangnya, Tisya juga tidak memiliki kuasa untuk menahan orang yang harusnya pergi, apalagi yang seperti Patru. Mereka bisa saja menjadi teman, tetapi rasanya mustahil, mengingat cowok itu masih saja mengejarnya.

Tisya tidak suka bila harus terjebak dalam keadaan bingung seperti ini. Mau move on, malah susah , mau lanjut pun beda agama.

Bingung adalah satu kata yang tepat mewakilinya sekarang.

Usai menangis, Tisya mengusap wajahnya dengan tisu yang dia bawa. Hanya tertinggal satu lembar dan itu sangat menyebalkan. Tisya segera keluar dari toilet dan pergi ke kantin untuk membeli satu bungkus tisu lagi. Dia paling tidak bisa menghadapi hari tanpa tisu, sebab dia adalah anak yang mudah sekali menangis, tetapi di sisi lain dia juga anak yang dikenal ceria sekaligus heboh sekali. Apa jadinya kalau dia kebablasan menangis di depan orang-orang yang selama ini menganggapnya sebagai anak ceria? Habis harga dirinya.

Jam pelajaran selanjutnya adalah olahraga, mengharuskan dia dan teman-teman kelasnya berganti seragam batik menjadi seragam olahraga. Mata pelajaran Penjas di semester ini berada di jam sebelas siang, membuat sang guru terpaksa mengajak siswa-siswa untuk pemanasan di bawah pohon saja, kecuali kalau mendung, baru boleh di lapangan.

Masalahnya pohon yang menjadi tempat teduh untuk berolahraga itu terletak pas di hadapan kelas Patru yang berada di lantai dua. Parahnya lagi, kelas cowok itu sedang jam kosong sekarang, alias tidak ada gurunya, alhasil beberapa siswa mudah keluar dan masuk ke kelas. Khususnya Patru yang semakin terlihat senang karena bisa memperhatikan Tisya yang berolahraga dari atas.

Selama pemanasan, Tisya jadi salah-salah dalam bergerak. Padahal dia adalah anak yang mudah hapal dengan gerakan, mengingat dirinya dulu adalah mantan anggota ekskul dance di SMP dan cukup populer.

Bergerak dengan risi membuat Tisya tidak sadar dengan barisannya sekarang. Dia berdiri terlalu ke pojok, membuatnya terlihat seperti orang yang terkucilkan di kelas, padahal sejatinya dia saja yang sedang linglung karena sadar dengan tingkah Patru.

"Tisya!" Zafri memanggil. "Lurusin barisannya."

Para siswi menoleh ke Tisya dan serempak menyahutinya dengan siul-siulan. Mereka tahu apa yang sedang dirasakan cewek itu, jelas sekali. Tidak ada lagi orang yang bucinnya melebihi Tisya di kelas mereka.

"Kalau gagal move on jangan kelihatan banget dong Tisya," celetuk Liza yang sengaja dinyaringkan, membuat Tisya semakin salah tingkah.

"Ah elah, karena ada Patru ya di atas sana?" Zafri ikut menyahut blak-blakan sambil tertawa.

Shinka menaikturunkan alis, pertanda iya.

Satu kelas kembali menyahuti Tisya, membuat Patru yang sedari tadi banyak tingkah akhirnya tersinggung, masuk ke dalam kelas, dan tidak keluar-keluar lagi.

Tisya berbisik ke arah Zafri dan Liza yang berdiri tak jauh darinya, "Makasih ya kalian. Gue jadi nggak risi lagi."

Liza mengangkat jempol.

"Kalau ada apa-apa, bilang aja Tis," balas Zafri sambil tersenyum simpul.

* * *

Jam istirahat kedua merupakan jam paling asik ke kantin, sebab tempat itu akan lebih kosong dibandingkan jam istirahat pertama. Kebanyakan siswa memilih untuk bermain di kelas saja pada waktu itu, membuat Tisya lebih nyaman untuk pergi ke kantin setelah jam pelajaran olahraga selesai.

Tisya dan TisyuWhere stories live. Discover now