17 - Lebih Indah dari Bulan

162 48 40
                                    

Sebulan setelah jadian, ternyata Patru masih berlaku manis terhadap Tisya. Dia sering memberi kabar selamat pagi dan selamat malam, seperti reporter pembaca breaking news saja. Tidak lupa, di sekolah Patru juga selalu menghampiri Tisya untuk berbincang ria. Pagi-pagi di kelas dia menghampirinya, di kantin juga ditraktir makan, pulang sekolah pun diantar ke rumah, lalu di sore hari dia mengajak Tisya jalan atau menonton film sampai malam.

Patru memberikan perhatian lebih daripada apa yang Tisya ekspektasikan. Kalau begini, otomatis Tisya yang merasa spesial, jadi tidak ingin mencari cowok mana pun lagi.

"Kamu tau nggak, sih, apa yang lebih indah daripada bulan?" tanya Patru seolah Tisya ini belum pernah merasakan yang namanya digodain laki-laki.

Dengan berpura-pura polos Tisya menjawab, "Enggak."

"Jawabannya Saturnus."

"Loh, kok, Saturnus?" Tisya tadi sudah gede rasa alias geer karena menduga jawabannya mungkin akan seperti, "Kamu, iya kamu yang lebih indah daripada bulan," ternyata bukan.

Banting meja, jangan? batin Tisya bertanya.

Nggak boleh gitu, Tisya, etika sama malu harus diingat, batinnya lagi yang cepat menegur.

"Iya soalnya Saturnus punya cincin," balas Patru dengan santai sambil tersenyum jenaka. "Kenapa? Kamu ngarep aku bilang 'yang lebih indah daripada bulan itu kamu' ya?"

"ENGGAK, IH." Tisya melipat tangan di depan dada lalu mengerucutkan bibir.

Patru yang tertawa itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak cincin dari saku dan meletakkannya tepat di atas meja. "Menurutku, Saturnus memang lebih indah daripada bulan karena ada cincin. Kamu mau nggak, cincin?"

Sontak Tisya melongo selama beberapa detik. Memang cowok di hadapannya ini tidak habis-habis memberikan sebuah kejutan dalam satu bulan. Tentunya, Tisya yang merasa sangat dispesialkan ini seketika berpikir macam-macam.

Patru sedang tidak ada maunya bukan?

Patru membuka kotak cincin itu seraya berkata, "Untuk kamu Tisya, aku minta selagi semuanya masih baik-baik aja..., tolong jangan tinggalin aku apa pun keadaannya."

Oh ya, benar, ternyata sedang ada maunya.

Tisya bergeming.

"Tisya...."

Tangannya buru-buru meraih minum di atas meja dan menyeruputnya pelan. Dia berusaha menenangkan diri sebelum melontarkan pertanyaan gila yang mungkin saja membuat hubungan mereka berakhir malam ini juga. "Maksud kamu apa?"

Patru menyandarkan punggungnya pada kursi. "Aku cuma mau kamu nggak tinggalin aku aja."

"Ini bukan pertanda kalau kamu mau serius, kan?" tanya Tisya, gamblang. "Soalnya ini cincin, ada kotaknya lagi."

"Emang aku serius sama kamu." Patru menatap Tisya dalam, seperti orang dewasa yang sudah mapan saja.

Saat itu juga, jantung Tisya berdetak kencang. Logika dan firasatnya mulai mencerca sekaligus mengingatkan dirinya agar terhindar dari segala omong kosong cowok satu ini. Namun, ketika dia melihat tatapan Patru yang amat serius itu, Tisya jadi membungkam firasat dan menolak logikanya untuk berjalan.

"Kita masih kelas sepuluh." Kalimat itu keluar dari mulut Tisya. "Masih lama. Kita juga masih anak remaja, labil, banyak omong kosongnya. Bisa aja kita serius sekarang, tapi nanti malah nggak jadi."

"Emang kamu pikir selama ini aku main-main?" Patru menegakkan posisi duduknya dan meraih tangan Tisya. "Aku dua tahun lebih tua daripada kamu."

Tisya terdiam lagi selama beberapa detik.

Tisya dan TisyuΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα