🌿17

55.8K 4.1K 757
                                    

Niat Kaleza untuk ke panti memang terelisasi, namun ada hal yang membuatnya sejak tadi melongo lantaran masih tidak percaya bahwa Zairo akan menyusulnya setelah 30 menit Kaleza meninggalkan rumah.

Pria itu dengan santai mengajari anak-anak belajar, wajahnya yang serius dengan kacamata bening yang membingkai tanpa sadar malah kian meningkatkan aura kegantengan pria itu.

"Jangan dipelototi terus, kalo mau kamu bisa gabung sama mereka." Sintia datang setelah sebelumnya menyuguhkan cemilan ala kadarnya untuk Zairo dan anak-anak.

Kaleza mengerucutkan bibirnya, bicara apa ibu pantinya ini.

"Temanmu itu meksi terlihat dingin dan tak tersentuh, ternyata dia mampu membuat anak-anak merasa nyaman dengannya. Lihat, Kaira yang awalnya takut malah menempel." kali ini Sintia menunjuk menggunakan dagunya dan Kaleza juga turut menatap objek yang ditunjuk Sintia.

Menilai dalam hati dan memang benar. Ternyata dibalik sikap cueknya, Zairo memilik magnet tersendiri hingga membuat anak-anak panti sejenak melupakan Kaleza.
"Kamu menyukainya?" pertanyaan Sintia sontak menjadikan Kaleza yang tengah mengamati Zairo tersentak. Kedua tangannya bergerak memberikan jawaban bahwa apa yang Sintia maksud beberapa saat lalu adalah kesalahan besar.

"Kami cuman temanan, Bun." akunya seraya mengaruk tengkuknya terlebih setelah mendapat tatapan penuh selidik dari wanita yang pernah merawatnya dulu semasa menjadi Kalisa.

"Mulut memang bisa berkata tidak, tapi wajah tidak bisa berbohong." tutur Sintia serata mencolek pipi Kaleza yang memerah. Wanita paruh baya itu mengulas senyum, agaknya gadis yang sudah ia anggap sendiri itu belum menyadari perasaannya.

Sedangkan Kaleza memilih tidak menanggapi, kini kepalanya memutar kejadian semalam yang mana Zairo mengatakan akan menidurinya. Awalnya Kaleza sudah kepalang panik, tapi semua praduganya salah. Zairo cuman butuh kelonan darinya, hanya saja terlalu gengsi untuk mengatakannya.

Tiap mengingatnya, Kaleza tanpa sadar menghela napas berat. Tinggal besok, maka Kaleza akan melepaskan apa saja yang telah ia cicipi selama menjadi Delaza. Dia senang karena tugasnya selesai, namun tanpa bisa dicegah sudut hati terdalamnya malah menggaungkan pemberontakan. Padahal sejak kemarin Kaleza tidak memiliki keraguan sedikitpun, namun hari ini entah mengapa rasa itu malah menyelip.

Kaleza sontak menggelengkan kepalanya ribut, keraguan itu harus dihilangkan. Toh, sebentar lagi mereka akan menjadi keluarga dengan Zairo yang akan menjadi kakak iparnya. Kaleza tidak mau memperumit semuanya.

"Kacin! Aku udah bisa bagi-bagi loh. Kalo Kacin ajarin banyak salahnya, tapi kak Zairo selalu benar semua."

Itu adalah seruan dari salah satu anak panti yang sempat Kaleza ajari hitung menghitung. Dan hasilnya zonk.

Bukan Kaleza yang mengajari tapi anak itu yang mengajarinya. Mengingatnya Kaleza jadi malu terlebih kini tatapan Zairo terpusat padanya.

"Kacin lagi lapar, jadi pikiran gak fokus. Jadi kalo kalian mau belajar, usahain perut ada isi supaya lebih fokus." sanggahan yang berisi nasehat itu diberikan Kaleza. Setidaknya ia harus mengumpulkan puing-puing harga dirinya di hadapan Zairo.

"Oh ya? 50 dibagi 3 berapa?"

Kaleza melotot horor, kenapa hari ini dia merasa tertindas. Semenjak Zairo datang dan memberi mereka perhatian tipis-tipis, anak panti malah berbalik di kubu Zairo.

"Duh, Kacin sakit perut. Tainya udah di ujung goa." ujarnya memegang perutnya dengan wajah memelas, segera saja dia ngacir dari sana. Kaleza tentu hanya menggunakan itu sebagai alasan untuk menghindar. Mana dia tau 50 dibagi 3, kecuali 50 dibagi 2, Kaleza baru bisa menjawabnya.

KaleZaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang