🌿20

61.7K 4.3K 1.1K
                                    

Enghh~

Lenguhan kecil itu keluar dari bibir seseorang yang baru saja bangun, Kaleza mengerjap. Sebentar kemudian menguap sambil meregangkan badan seperti yang ia lakukan tiap bangun tidur.

Mengumpulkan nyawanya, Kaleza lalu bangkit seraya itu mengusap pelipisnya yang sedikit pening. Sebentar kemudian perempuan itu berjenggit lantaran dia tidak memakai apa-apa dibalik selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Panik tentu saja.

Kaleza berusaha mengingat apa yang terjadi terakhir kali, namun dia sama sekali tidak memiliki memori apa-apa. Ingatan terakhirnya hanya ketika dia balik ke kamar setelah berkencan bersama Erza.

"Setelah itu apalagi..." gumaman berisi nada frustasi itu menandakan betapa Kaleza pusing tujuh keliling memikirkannya.

Kaleza mengedarkan pandangan, detik berikutnya matanya membola saat sudah mendapati siluet seseorang yang dengan santai duduk di sofa lengkap bersama puntung rokok yang sisa setengah.

"Zai,"

Si empunya nama yang sedang duduk layaknya bos besar itu, menyeringai tipis setelah mendengar panggilan dari wanita yang telah ia gagahi semalam.

Kaleza refleks menggenggam erat selimut putih agar tidak melorot, entah mengapa saat mengetahui Zairo ada di sini serta penampilan Kaleza yang jauh dari kata baik, pikiran-pikiran buruk itu selalu bersiweran di kepalanya.

"Apa, yang terjadi?" pertanyaan mengambang itu akhirnya keluar dari bibir Kaleza. Jantungnya berdegup kencang, tanpa sadar tubuhnya mengkeret ketakutan ketika Zairo membuang puntung rokoknya pada asbak lalu berjalan mendekatinya.

Langkah kakinya begitu ringan terayun menuju ke arah Kaleza. Kimono coklat yang dipakainya, Zairo lepaskan talinya menyebabkan Kaleza memekik tanpa sadar.

Gila!

Hanya itu yang Kaleza deskripsikan tentang Zairo sekarang.

"L-Lo, kok buka baju?!"

"Hanya mengingatkan."

Suara berat Zairo berhasil membuat Kaleza yang sedang menutup matanya, perlahan terbuka menatap pria itu. Mulanya Kaleza tidak paham, tetapi setelah melihat ruam-ruam merah di sekitar leher serta dada Zairo, mau tak mau Kaleza tertawa kecil.

"Gue gak percaya kalo yang buat itu gue." tuturnya tak lupa pandangannya mendelik, dengan bersusah payah Kaleza bangkit.

Meski tubuhnya remuk, Kaleza tetap bisa berdiri menghadap sosok angkuh Zairo yang masih belum berubah posisinya sejak awal. Pandangannya tetap ia fokuskan ke wajah Zairo, bila tidak, Kaleza akan melihat hal-hal yang tak diinginkan.

"Lo jebak gue kan? Atau, lo ngira kalo gue itu Delaza?" sambil berbicara, mata Kaleza sudah memerah. Antara menahan amarah juga tangis. Dia tidak akan menerima keadaannya yang seperti ini.

Zairo masih setia membungkam mulut, bahkan ketika Kaleza menuntut jawaban konkrit padanya, Zairo tidak memberi respon. Barulah setelah wanita itu lelah, Zairo menepuk-nepuk kepala Kaleza.

"Lo kagak inget, gue punya bukti lo duluan yang mulai. Lo yang seret dan maksa gue. Gue nolongin lo yang kejebak obat perangsang. Dan tanda ini, gak mungkin gue sendiri yang buat." Zairo menunjuk bekas ungu di lehernya, lalu tersenyum miring.

"Gue gak percaya! Lo pasti yang jebak gue, Iya kan! Gue gak terima!"

"Silakan kalo lo gak terima atau laporin gue, tapi satu hal yang lo tau," Zairo menggantungkan kalimatnya, lalu beralih mengapit dagu Kaleza. Memaksa wanita itu agar menatapnya.

"Jika hal itu terjadi, bukan gue yang bakalan rugi. Tapi lo, kehormatan lo, serta nama baik keluarga lo. Dan poin utamanya, kita sama-sama mau." bisikan rendah Zairo berhasil membuat Kaleza tidak berkutik. Namun tatapan tajamnya sudah menggambarkan bagaimana Kaleza menyimpan luapan amarahnya untuk pria itu.

KaleZaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang