🌿37

27.3K 3.2K 360
                                    

Dalam keheningan yang mencanggungkan itu, terdapat Kaleza yang sedari tadi memainkan jari-jari tangannya. Bibirnya sesekali digigit pun pandangannya yang sejak tadi mendengarkan atau lebih tepatnya fokus mendengarkan percakapan orang-orang di sana.

"Kaleza, kamu setuju kan Nak?"

Kaleza yang sejak tadi bungkam, sedikit terhenyak, matanya mengerjap beberapa kali sebelum kemudian memberanikan diri mengangkat kepalanya.

"Tapi ini terlalu mendadak, Kek. Jujur saja saya masih mencerna keputusan Kakek tadi." ungkapnya lalu melirik Bryan yang juga sejak tadi menjadi lawan bicara Gavindra.

Sejak Gavindra menjatuhkan keputusan beberapa saat lalu, Bryan tak sedikitpun ada memberikan penolakan dari bibirnya. Padahal bukan ini perjanjian awal keduanya.

"Betul, Kakek paham. Tetapi menunggu waktu yang telah disepakati juga bukan hal baik. Di sisi lain Bryan juga yang awalnya mengusulkan hal ini." ujar Gavindra yang saat itu duduk bersandar pada sofa. Tentu saja pengakuannya mendapat respon terkejut dari Kaleza. Tatapannya segera bertemu pandang dengan Bryan, di mana pria itu hanya mengulas senyum tipis.

"Benar, saya yang mengajukan pada Kakek untuk mempercepat pernikahan kita. Terlepas dari perjanjian yang kita buat, saya juga sudah menemukan seseorang yang membuat saya merasakan apa itu nyaman. Orangnya cuman kamu, saya harap niat tulus saya ini mendapat sambutan baik," tutur Bryan yang kini beralih duduk di samping Kaleza.

Tangan kekarnya meraih jemari dingin Kaleza, menggenggamnya lembut seraya itu berujar. "Saya tau, sulit untuk menerima keputusan ini terlebih ada anak antara kamu dan Zairo. Tapi saya tidak melihat itu, saya hanya ingin kamu dan saya, menjadi satu dalam ikatan sakral."

"Tapi Kak Bryan, masih banyak wanita di luar sana yang lebih dari saya. Kak Bryan harus bersama dengan orang yang memang pantas bersanding dengan Kakak,"

"Dan hati saya memilih kamu." Sela Bryan berhasil membungkam mulut Kaleza yang hendak berbicara.

Apa yang harus Kaleza lakukan?

Perasaan Bryan begitu tulus, tetapi Kaleza juga memiliki perasaan yang sudah dijatuhkan untuk orang lain.

Pembicaraan di siang hari itu belum mendapat titik terang dari bibir Kaleza. Langkah kakinya berjalan gontai menuju kamar Geva. Tibanya di sana, Kaleza bukan hanya mendapati Geva yang sudah tertidur, lelap tetapi Zairo yang sibuk dengan tabletnya.

Sejenak Kaleza ragu-ragu untuk masuk, tetapi setelah Zairo mempertemukan pandangan mereka mau tak mau Kaleza berjalan masuk lalu duduk di pinggir kasur dengan perasaan canggung.

"Senang sebentar lagi jadi nyonya Caler?" pertanyaan sarkastik Zairo berhasil menyentak Kaleza yang sedang melamun. Kepalanya keburu menggeleng.

"Zuu—"

"Gue benci nama itu." sela Zairo tajam.

Meneguk ludahnya kasar, Kaleza kembali berujar. "Zai, aku, aku—"

"Jangan mengulang cerita yang sama lagi. Gue gak mau Bryan bernasib sama, jadi balas perasaannya." Zairo kembali memotong perkataan Kaleza yang mana berhasil membuat wanita itu hanya mampu menggigit bibirnya.

Melihat Zairo yang sepertiya akan pergi, Kaleza segera berujar.

"Apa perasaan itu sudah hilang? Tolong beri aku jawaban, setidaknya sampai aku tau pilihan apa yang akan aku ambil." tukasnya terdengar lirih.

Zairo yang baru saja turun dari kasur, beralih menghampiri Kaleza kemudian mendekatkan wajah keduanya hingga nyaris tak berjarak.

"Lihat mata gue. Apa lo masih nemuin perasaan itu di sana?"

KaleZaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang