i

5.8K 761 262
                                    

📜

Kota 141, X, 2068

Dia adalah satu di antara tiga lelaki yang berada dalam cahaya yang masuk dari tiga jendela di atas altar.

Terang lain menerobos lewat fragmen kaca patri yang berjajar sepanjang dinding gereja. Bayangan-bayangan pun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru dari kaki pilar-pilar korintia. Juga dari kaki patung para sanctus. Terang yang paling kecil datang dari lilin-lilin yang dinyalakan koster sebelum misa pentahbisan dimulai. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapa Uskup dengan mitra keemasannya memanggil nama mereka satu per satu. Juga salah satu nama; Kim Seok Jin.

Sakramen presbiterat. Tiga lelaki tak berkasut itu lalu telungkup mencium ubin katedral yang dingin. Mereka telah mengucapkan kaulnya. Pada mereka telah dikenakan stola dan kasula. Sejak hari itu orang-orang memanggil mereka pater. Namanya pun menjadi Pater Kim, atau Romo Kim.

(n) : Saman, 1998


Seulas senyum tak bisa enyah barang sedetik. Padanya telah ia raih tujuan hidupnya; melayani Tuhan dan umat seumur hidup. Semenjak belajar di seminari, Seok Jin merasakan panggilan Tuhan dan percaya bahwa hidup selibat serta berdevosi kepada Tuhan memang sesuai untuk dirinya. Maka dari itu, tak ada hari tanpa berdoa agar ia bisa lulus S1 hukum pun menjalani panggilan imamat.

Hari ini, Tuhan mengabulkan semua keinginan hidupnya.

"Selamat."

Seok Jin mengangguk, menyalami salah frater yang mana adalah adik tingkatnya di seminari─juga satu universitas yang sama.

"Kuharap kau cepat menyusul, Jeon."

"Pasti." Frater Jeon itu menjawab antusias, penuh dengan emosi jiwa yang membara; optimisme, semangat, keinginan kuat. Jeon Jung Kook menunjukan dua gigi kelincinya, "Aku tunggu kau di depan, ya. Ada perihal yang perlu kubicarakan padamu."

Seok Jin tak menjawab; ia hanya senyum seraya mengangguk. Sebab masih banyak anggota koor dan misdinar yang harus ia salami. Akan lebih banyak lagi pujian dan harapan yang akan ia dengar, sebab setiap kali frater menetas menjadi pater, mereka menganggap bahwasannya hal tersebut adalah sebuah kelahiran; yang penuh harapan, suka cita, dan kekhawatiran.

© ikvjou ©

"Kau benar-benar tak ingin pindah?"

Keheningan meramu dalam senyap di ruangan kecil berukuran 3×4. Tak ada tanda-tanda salah satu cucuk mencicit jawab. Yang satu menunggu, dan satunya lagi memilih melipat tudung putih penutup tubuh yang ia gunakan beberapa menit lalu untuk beribadah.

"Kamu menungguku selesai sholat hanya untuk membahas hal ini?"

Si penanya pertama mengangguk cepat, seolah memang tak ada setitik keraguan di dalam ucapannya. Meski begitu, dua binar di sudut matanya tampak skeptis. Menimang, menuggu, berharap lebih banyak pada lawan bicaranya.

"Aku tidak bisa, Yoon."

"Argh." Pekikan penuh keputusasaan itu terdengar. Si Yoon─Im Yoona namanya─menutup dwiatensinya sejenak. Ia hirup udara sebanyak mungkin, melepaskannya dalam kesesakan. Lalu, ia tatap lagi lawan bicaranya itu. "Christa, ayolah. Kamu tahu, ini tawaran bagus untukmu. Daripada kamu bertaruh nasib di negara MR. Kondisi di Timur sedang tidak bagus. Perang sudah pecah. Beberapa situs pun hanya tinggal nama."

Dalam satu hentakan terakhir, ia masukan peralatannya ke dalam tas kecil jinjing. Christa pun duduk bersila, bersipandang secara tepat di hadapan Yoona─sahabat karibnya sejak kuliah dulu.

"Insya Allah ini keputusan tepat."

"Christa ...." Yoona mencicit, kedua bola matanya masih menaruh ekspektasi pada iris pekat di depannya. "Kamu tahu, kantorku sudah mau menerimamu. Kamu bisa jadi staff ahli bersamaku."

Embusan berat terdengar. Dalam detik-detik pengambilan napasnya, ada secuil kekhawatiran pada dirinya. "Teknokrat bukan pilihanku. Rumahku bukan hukum dan politik. Aku tidak punya keahlian sepiawai dirimu, Yoon. Kamu paham maksudku, kan?"

Yoona mengangguk, "Sangat paham, Christa." Impresif, kedua tangan Yoona menggenggam punggung tangan Christa penuh harap. "Kamu ini masih muda. Jalan kariermu masih sangat panjang. Pikirkanlah. Kalau kamu masih bekerja bersama Profesor Lee, kamu tidak akan berkembang. Budaya telah dilupakan di zaman milenial ini, Sayang."

"Aku tahu, Yoon. Karena itu aku perlu untuk menghidupkan semangat untuk mengenali diri mereka. Kita hidup dari kebudayaan, berkembang bersama sejarah."

"Siapa yang peduli tentang itu sekarang, Christa. Semua hanya peduli tentang hidup dan mati. Persoalannya perang ketiga sepanjang abad ini akan meletus, tidak lama lagi."

"Dan kamu memintaku untuk jadi bagian dari pemerintah?"

Yoona mengangguk kembali, "Kamu punya semangat revolusioner. Aku yakin kamu pasti bisa menjadi staff ahli kepresidenan bersamaku dengan kecakapan dan kepiawaianmu."

"Aku tidak tahu, Yoon." Christa menunduk, menatap bulu-bulu ambal berwarna marun yang tengah ia duduki. Pikirannya berkemelut, ada banyak beban di pundak yang masih belum selesai ia lepaskan semenjak selesai kuliah.

"Aku begini karena kau temanku, Ta. Aku hanya mau kau baik-baik saja. Tidakkah kamu ingin tahu bagaimana keadaan Hellen saat ini hanya karena keras kepala sepertimu?"

© ikvjou ©


"Jadi, maksudmu dia kerasukan iblis?"

Poni hitam itu bergerak naik dan turun. Anggukannya cepat dan keras; penuh penekanan dan kekuatan. "Dia benar-benar kerasukan iblis."

Seok Jin menghela napas sejenak, "Sudah dibawa ke psikiater? Ditangani ahlinya, Jeon?"

Jung Kook mengangguk, "Sudah. Tak ada yang mempan. Dia sangat membahayakan. Dua dari tiga psikiater yang menanganinya pernah nyaris terbunuh."

"Bagaimana dengan psikolog?"

"Sama saja," balas Jung Kook pelan. "Kupikir mereka semua menyerah. Bahkan di salah satu universitas kasus ini malah diangkat dalam seminar. Beberapa psikolog menjadikannya bahan penelitian."

Seok Jin terhenyak. Untuk beberapa alasan jiwa kemanusiaannya terpanggil─tetapi di sisi lain jiwanya, akalnya memanggil. Ketidaklogisan ini membuat banyak ceruk-ceruk renungan di dalam kepala.

"Bukankah kau bilang dia temanmu. Siapa nama perempuan itu?" tanya Seok Jin, membuka pintu mobil seraya mempersilakan Jung Kook untuk ikut di sebelahnya.

"Hellen. Namanya Hellen Dafzren. Dia beda prodi denganku, tetapi kami sama-sama pernah satu kelas pada mata pelajaran filsafat kontemporer dan fenomenologi."

"Hellen itu bukan anak filsafat sepertimu?"

Jung Kook mengangguk, "Dia anak antropologi."

Kerutan di dahi Seok Jin nampak bersama konsentrasinya yang pecah; terbagi antara analoginya dan fokusnya menyetir.

"Secara psikologis, harusnya kasus Hellen dapat dipecahkan. Paling tidak dapat ditangani. Memang ini abad berapa? Masa peradaban harus mundur lagi sih, sehingga kasus seperti ini dianggap kerasukan iblis."

Kurva di sudut bibir Jung Kook tertarik. "Kupikir ini adalah gerbang menuju akhir dunia. Tetapi, siapa yang tahu. Di dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa kemaksiatan dan pengaruh iblis akan menguasai bumi nantinya. Siapa yang tahu juga apa yang dialami oleh Hellen ini adalah bagian dari praktik-praktik magis."

Hening.

Sesuatu terasa kering, terasa janggal dan menghauskan. Di detik berikutnya, dwiatensi itu membesar.

"Jeon, apa maksudmu? Kau ... mempelajari Al-Qur-an?"


──

📜 Jangan rasis. Agama cuma pengantar aja bukan untuk aku mainin dalam cerita ini. Dosa. Tapi pahami dari sisi lainnya ya. Dari penyimpangan sosial yang mau kusampaikan.

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang