xxii

628 150 34
                                    

Bentuk fisik dari sebuah pengkhianatan itu tak pernah benar-benar nyata, yang ada─atau paling tidak yang kita tahu─ialah hasil dari perbuatan yang dinamakan khianat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bentuk fisik dari sebuah pengkhianatan itu tak pernah benar-benar nyata, yang ada─atau paling tidak yang kita tahu─ialah hasil dari perbuatan yang dinamakan khianat. Lalu, di mana bentuknya? Apakah ia bersifat muskil? Tetapi, mengapa orang-orang sering sekali membicarakannya dari satu mulut ke mulut yang lain; ribut-ribut membincangkan perkara yang anuswara, kan jelas padahal mereka sendiri tidak pernah melihat atau paling tidak berjumpa dengan yang namanya khianat itu. Yang mereka tahu hanya tak lebih dari perasaan saja, yang hukumnya tidak pasti dan belum tentu benar.

Seok Jin─rasa-rasanya─berada pada posisi tersebut. Sejak lalu, dahinya mengerut penuh arti. Dua katup bibirnya lengket, bersemayam bersama keheningan yang dibuat-dibuat oleh pikirannya sendiri. Ia tidak ingat dari mana perkataan ini berasal, tetapi orang itu pernah bilang begini; jangan ikuti aku, jangan ikuti dia, jangan ikuti mereka, tetapi ikutilah pikiranmu. Sekarang, Seok Jin tengah mengikuti pikirannya yang carut marut, meskipun ujung-ujungnya ia jadi lebih subjektif dan berat sebelah kepada perasaannya sendiri yang lebih kacau lagi keadaannya.

"Pastur Kim?"

Seok Jin mengangkat pandangan sejenak, "Ya?" kembali berlalu pada secarik undangan yang terpaut patuh di atas meja. Lelaki itu kemudian menghela, menelan sisa-sisa saliva guna membasahi kerongkongan yang kering sebelum pada akhirnya berbicara, "Sungguh?"

Yang ditanya sekarang jadi bimbang sendiri; sungguh? Pertanyaan macam apa itu? Alih-alih bertanya demikian, Christa lebih senang jikalau Seok Jin mengeluarkan sedikit rasa emosional, atau memaki-maki dirinya paling parah. Itu lebih baik, daripada Christa merasa jadi sosok yang sangat jahat dan bersalah. Seok Jin terlampau tenang dengan solahnya yang diam-diam begitu. Padahal, Christa kira Seok Jin akan protes pada dirinya setelah sekian banyak hal yang telah mereka berdua lakukan. Namun, Seok Jin tidak demikian.

Lelaki itu terdiam.

Lelaki itu bungkam seribu bahasa.

"Menurutmu bagaimana?"

"Bagaimana apanya?" tanya Seok Jin balik. "Kau bertanya setelah membuat keputusan. Lantas buat apa aku menjawab. Kau yang paling tahu mengenai dirimu sendiri, Christalina."

Christa angguk-angguk; memang bodoh juga bertanya demikian. Hanya, perempuan itu memang ingin tahu saja bagaimana tanggapan lelaki yang (mau bagaimanapun) telah banyak merebut sebagian atensi perempuan itu. Christa malu untuk mengakui, tetapi ia ingin perasaan lelaki itu. Ia ingin tahu percakapan di dalam dada lelaki itu; ia rindu detak jantungnya, pun bagaimana cinta milik lelaki itu telah membungkus ruhnya sedemikian rupa sehingga setiap kali berjumpa ia merasa lelaki itu selalu mengultuskan dirinya, menghamba, serta memposisikan perempuan itu di atas dari segala-galanya.

"Setidaknya," Christa menghela, jantungnya bak genderang ditalu sebelum berperang, "aku ingin tahu. Apa pun yang kau katakan jadi sesuatu yang penting untukku."

Seok Jin menghela sepersekian sebelum pada akhirnya mengangkat kepala dengan benar; kedua pundaknya mendadak jadi tegang begitu tatapannya tertuju lekat pada Christa yang berada di hadapannya dengan senyum terajut lembut. Lelaki itu menghela lagi, kali ini jantungnya lebih gugup dan Seok Jin yakin bahwasannya ia tidak bisa mengontrol diri lagi bila Christa terus terlihat secantik itu. Wanita memang selalu menjadi racun tersendiri, tak terkecuali Seok Jin yang pada hidupnya telah ia serahkan untuk berdevosi.

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang