xv

2.3K 468 256
                                    

📜


hier light mijn hart
hatiku tertinggal di sini


Mungkin sudah ratusan kali dalam tiga puluh menit terakhir ini ia berpikir, merenungi semua hal yang telah terjadi. Ada kebungkaman yang turut membentuk kesedihan abadi di dalam hatinya, sehingga sejak tadi ia tidak lebih dari membisu layaknya orang pandir.

Bukan, bukannya Taehyung takut untuk mengambil tindakan─atau paling tidak ia bergegas masuk; menyelinap di antara para pelayat yang datang, berkabung bersama begitu peti mati diturunkan ke dalam liang lahat. Taehyung tentu ingin bergabung bersama penduka lainnya, hanya saja ia begitu malu─ewh, katakan saja Taehyung seorang pengecut. Karena faktanya ia memang si pengecut itu.

Pengecut yang malu pada dirinya sendiri, dan tentulah pada sosok yang sudah berpulang itu─yang terbujur kaku di dalam peti mati.

Srek ... srek ....

Sol sepatunya lantas bergesekan dengan dedaunan kering yang jatuh di atas tanah. Demi Tuhan, seharusnya Taehyung malu dengan pergi begitu saja dari pemakaman tanpa memunculkan batang hidungnya. Hanya saja ia sudah terlampau malu (di sini ia sudah menekankan kata malu berulang kali) juga──

"Kim Taehyung!"

──rasa kehilangan yang mendalam.

Hening

Menelan saliva dengan kasar, pemuda itu menelengkan kepala. Ia tidak terkejut sewaktu mendapati presensi Jung Kook di belakang punggungnya─sebab ia sudah terlalu hafal akan bariton itu: meskipun sekarang mereka tak lagi seintens dulu bertemu.

"Hm?"

Jung Kook mengulas senyum di sebelah kanan ujung bibirnya begitu melihat solah dingin nan kaku kawan lamanya itu (adik dari seorang teman yang sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri: Seok Jin). Jung Kook tentu mengerti akan perubahan dari sikap Taehyung, yang mana dulu begitu hangat dan ceria. Meski begitu, pemuda itu tetap senang karena Taehyung tidak mengabaikannya.

"Kenapa tidak bergabung?" Lemat, Jung Kook tatap kedua obsidian Taehyung, agak lama, sampai ia memutuskan untuk bersuara kembali. "Aku sudah menunggu kamu sejak tadi. Ada Yoona juga."

"Tidak bisa," tukas Taehyung, dengan nada yang dibuat sedemikian dingin. "Ada banyak tugas yang harus kukerjakan."

Mengembuskan napas berat, ia perhatikan langkah Taehyung yang secara cuma-cuma menjauh. Ia masih sama, pikirnya; masih belum bisa berdamai dengan keadaan.

"Hellen pasti sedih karena kekasihnya lebih memilih pekerjaan ketimbang dirinya."

Bruk!

Spontan kedua lutut Taehyung ambruk begitu Jung Kook selesai dengan kalimatnya. Bergetarlah kedua bahu pemuda itu: ia menangis. Kali ini Taehyung menunduk sembari menangis tersedu-sedan.

Selama beberapa menit Jung Kook diam di belakang punggung Taehyung yang berada di bawah kakinya. Ia mahfum, kesedihan macam apa yang sedang dialami oleh Taehyung─kawannya, yang kini hilang ditawan oleh seorang iblis.

Kesedihan Taehyung adalah kesedihan cinta; yang abadi. Kehilangan yang tidak murni; yang disebabkan oleh seseorang. Ini bukan perkara restu, melainkan perkara nyawa. Yang seorang manusia jahat telah memainkan nyawa seperti sebuah hal yang biasa saja. Tentulah ia merasa sedih: karena manusia jahat itu bukan tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri.

"Aku bukan tidak ingin bertemu dengannya, Jeon. Aku hanya malu ..."

Jung Kook masih diam.

"... ia meninggal karena aku. Karena aku lebih memilih nyawa ibuku."

© ikvjou ©

"Hai, selamat pagi." Seorang gadis─maaf, sekarang ini ia bukan lagi seorang gadis─menggeliat dalam tidurnya, dalam posisi duduk bersandar pada dada seseorang. Ia mengerang kecil, membuat si lelaki makin erat memeluk tubuh mungilnya. "Bagaimana keadaanmu? Baik?"

Si perempuan mengucek kedua matanya yang berair sebelum menyahut dengan suara serak, "Maaf, kamu bilang apa, Pastur Kim?"

"Saya tanya bagaimana keadaan kamu, Christa." Seok Jin mengelus puncak kepala Christa, lantas menumpukan ujung dagunya. "Ini adalah hari yang baik."

"O!" Christa berseru, menelengkan sedikit kepalanya ke atas. "Saya baru tahu kamu bisa sedikit berbicara semanis itu. Heum, kenapa sekarang menurutmu hari yang baik? Saya sedikit tidak enak badan."

"Jung Kook mengajari saya. Dia fasih berbicara manis dengan banyak perempuan," balasnya, mengeratkan lebih kencang pelukannya. "Dingin, ya? Maafkan saya, bercinta dan bermalam di tengah hutan sungguh perbuatan asusila. Saya benar-benar minta maaf."

Mengulas senyum, Christa mengusap dagu Seok Jin dengan lembut. "Kita sudah menyatu semalam, tetapi kamu masih bersikap canggung terhadap saya. Apa saya masih seperti orang lain untukmu? Bukankah kamu bilang saya adalah sebagian dari tulang rusuk kamu?"

Seok Jin menunduk dengan kikuk. Sejujurnya ia bingung terlepas dari apa yang sudah ia perbuat tadi malam. Bukan ia tidak mengakui Christa, melainkan lebih banyak perasaan bersalah mengendap di dalam hatinya. "Saya telah berbuat dosa."

"Lalu apa yang mau kamu lakukan dengan dosa itu?"

"Saya ingin menebusnya."

"Ingin saya juga ikut menebusnya?" Seok Jin dengan sigap mengangguk. "Berarti kamu ingin menebus saya dengan kematian."

"Apa maksudmu?!" Ia menaikan nada bicara, urat-urat lehernya ikut bergetar. "Kamu bukan Kristus yang musti disalib. Kamu bisa datang ke ruang penebusan dosa dan bertaubat. Kamu bisa──"

"Ssshhh ...." Christa menaruh ujung telunjuknya di permukaan bibir Seok Jin. "Saya bukan kamu, Kim Seok Jin. Ada rajam untuk menebus dosa saya. Saya bukan kamu yang datang ke ruang penebusan dosa, tetapi saya akan datang untuk dilempari batu puluhan kali."

"Itu sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan!"

Ada senyum sabar di sudut bibir si perempuan. "Zinah pun perbuatan yang persis dengan binatang: seperti kebodohan kita saat ini. Kamu juga bilang pada saya bahwa sebagian dari dosa itu ialah wanita. Maka, sayalah dosa itu, yang tidak lagi suci ..."

Ada keheningan yang mencekik syaraf-syaraf leher si lelaki.

"... juga kamu, yang sama berdosanya telah melanggar perjanjianmu pada Tuhan dan menanggalkan kesucianmu kepada saya."



ikvjou💕

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang