xi

1.5K 468 292
                                    

📜


"Ayah, tolong berhenti."

Sesungguhnya ia tahu bahwa pembuka dari percakapan ini sunggulah tidak tepat─ia sadar akan hal tersebut, tetapi dirinya tak menemukan kalimat yang lebih apik daripada yang ia ucapkan barusan.

Kerut-kerut di dahinya nampak nyata, tetapi tidak menurunkan ketenangan luar biasa dari celah-celah binar yang dibungkus oleh kacamata. Adalah ia tersenyum─lebih kepada seringaian; yang selalu tampak dingin, kejam, tegas pun otoriter. Ceracau yang barusan terngiang di selaput pendengarannya lebih ia artikan sebagai kerinduan anak kepada bapak; selayaknya ungkapan sayang atau minta dipeluk, dibelikan ini-itu, dan rengekan sejenis.

Sepersekian menit menunggu, Seok Jin nampak gerah. Jas yang membalut pundak sang ayah telah tentu membuat ia lupa daratan─semakin angkuh dari hari ke hari.

"Ayah──"

"Sudah lama kamu tidak memanggil namaku." Nam Joon berdeham, secara sepihak memotong ucapan lawan bicara. Aura wibawa yang secara lahiriah ia miliki nyatanya mampu membuat si anak bisu. "Ada apa?"

Mengembuskan napas berat, ia tatap sang ayah. Bersama ceruk-ceruk keraguan, bibir itu melontar, "Apa yang sebenarnya sedang ayah rencanakan?"

"Tentu saja eskalasi kemajuan──"

"Hentikan praktik okultismemu!" Seok Jin menyelak, merasa semakin jengah atas sikap sang ayah. "Gadis itu tidak bersalah."

Tawa membahana spontan mengisi kesenyapan ruangan maha megah yang ditinggali oleh Nam Joon. Lelaki itu terpingkal-pingkal: merasa lucu akan ucapan Seok Jin─peh, padahal ia sama sekali tidak membanyol.

"Kenapa kamu jadi ikut campur urusan ayah?" Suaranya berat, dalam, dan penuh dengan sirat intimidasi. "Apa ayah pernah mencampuri urusanmu?"

"Ayah tidak pernah mencampuri──"

"Lalu kenapa?"

Hening.

Kedua iris pekat yang serupa itu bersirobok dengan tajam. Tak ada rasa ingin mengalah dari kedua pihak. Dan di sisi bersebrangan, iris yang dulu terlihat ramah itu sudah benar-benar lenyap. Tidak ada sisa bahwa laki-laki di hadapannya ini benar adanya ayah yang dulu mengajarkannya ketaatan; ayah yang selalu dihormati dan dicintai.

"Hellen Dafzren tidak ada hubungannya dengan politisasi Ayah. Hellen hanya seorang sejarahwan."

Nam Joon tercenung, namun segera ia suguhkan seringain di sudut bibir. "Kamu tahu apa──"

"Aku tahu bahwa Ayah tidak pernah melakukan ini demi aku, Taehyung ataupun ibu. Jadi, kumohon berhentilah melakukan praktik okultisme." Sekali lagi, Seok Jin tatap dengan lekat bagian dari dirinya itu, yang tengah duduk di hadapannya sebagaimana ia selalu memancarkan aura berwibawa.

"Kenapa kamu jadi tertarik pada gadis itu?" Nam Joon melepas bingkai yang membungkus dwiatensinya. Ia pijat pangkal hidungnya sebelum melanjutkan, "Apa sekarang kelaminmu sudah bisa berdiri tegak akan berahi?"

"Ayah!" Seok Jin nyaris lepas kendali jika saja ia tidak ingat dengan siapa ia bicara. Sungguh ini menyakitkan kala ia dituduh tidak normal oleh ayahnya sendiri; dahulu beranggapan sewaktu Seok Jin memutuskan untuk masuk seminari.

Padahal ia melepaskan hasrat duniawinya demi melindungi ayahnya. Padahal ia ingin menjadi orang saleh agar kelak jalan ayahnya yang tersesat bisa digiring kembali─dibawa pulang pada Kristus. Agar suatu saat ia bisa berdakwah, sebab ia tahu ayahnya masih tersesat. Tidak ada yang bisa menolongnya selain Seok Jin─putranya sendiri. Hanya saja, Nam Joon tidak sadar akan hal tersebut.

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang