xvii

1.8K 448 137
                                    

📜


moellijkheden die u niet klein krijgen, maken u groot

Ting!

Ting!

Ting!

o, alarm rumahnya berbunyi dengan tidak sabaran dan Jung Kook mendengkus kesal karena itu. Sejak kapan tidur nyenyaknya (di pagi hari pada pukul enam) dibangunkan oleh suara alarm rumah yang membabi buta. Jung Kook tidak pernah ingat, sebab setahunya─meski sekarang ia sedang dalam kondisi setengah sadar─hanya segelintir orang yang tahu apartemennya.

Bangkit dengan perasaan setengah enggan, Jung Kook pada akhirnya harus mengerti dan mempraktikan adab perkara tamu dan tuan rumah. Maka, ia bukalah pintu rumah; dengan mata setengah terpejam khas bangun tidur yang ia kucek beberapa kali, rambut hitam berantakan, dan juga celana pendek tanpa baju. Jung Kook memang biasa untuk tidak mengenakan pakaian saat tidur.

"Assalamualaikum."

Ada dengkus berat yang keluar dari indra penciumnya begitu dengar salam yang menyatire dirinya. "Walaikumsallam." Kendati demikian, Jung Kook tentu tidak perlu diingatkan oleh adab. Ia cium punggung tangan si tamu, "Tumben pagi-pagi datang ke sini, Kak?"

"Kamu tidak mempersilakan aku masuk dulu alih-alih bertanya?" O, ingatkan Jung Kook bahwa Wonwoo adalah kakak kandungnya─yang dengan semena-mena menerobos masuk lalu ongkang kaki di atas sofa. "Tadi tidak lupa sholat subuh, kan?"

"Hm." Jung Kook mengangguk, menghampiri Wonwoo untuk duduk di atas ambal setelah sebelumnya menutup pintu. "Meskipun aku gila kerja sampai lupa tidur dan sialnya dibangunkan oleh kakak, aku tidak akan lalai oleh perintah Allah. Tenang saja."

"Alhamdulillah kamu masih tau ajaranmu." Wonwoo berdeham, memeriksa gawainya beberapa kali sebelum melanjutkan, "Tolong jemput Somi ya, nanti. Ada hal yang harus kakak urus, Irene juga sedang di luar kota. Nanti malam kakak jemput Somi di sini jam delapan."

Alis pemuda itu mengernyit─aneh, tidak biasanya Wonwoo menitipkan putri kecilnya yang baru berusia lima tahun ini pada Jung Kook. "Ada masalah, Kak?"

"Jangan tanya dulu, Jeon. Masalahmu sudah banyak, jangan tambah beban dengan masalah kakak."

"Pemerintah ikut campur lagi terhadap bisnis Kakak?" Jung Kook menyela Wonwoo dengan tidak sabar. Ada celah yang membuat lelaki itu mafhum hanya dengan melihat solah bungkam sang kakak. "Kenyataannya begitu, kan? Kekuasaan bahkan bisa membungkam kebenaran."

Le coup de foudre, kamu percaya? Jung Kook percaya oleh sebait kalimat itu. Apa yang ia saksikan dan terdokumentasi di ingatannya justru jatuh membawanya cinta pada semangat perjuangan dan revolusi. Mungkin kalian akan berpikir: orang sejenis apa Jung Kook itu?

Maka aku─sebagai perantara kalian─hanya bisa memberi gambaran bahwa Jung Kook adalah orang yang secara garis keras menjunjung tinggi nilai keadilan. Ia tahu rasanya ditidakadili, sebab itu ia merasa haus. Ia tahu rasanya jadi kaum proletar, maka itu percikan api dan semangat juangnya bangkit.

"Jangan terlalu berusaha. Pikirkanlah." Jung Kook terdiam, menatap lekat manik di hadapannya. "Kamu sudah khitbah gadis itu──"

"Aku akan berjuang bersamanya." Suara Jung Kook berapi-api, matanya berkobar rasa muak. "Christa dan aku, juga mahasiswa, aktivis serta kaum yang haus akan keadilan pasti akan berjuang."

... sebab kami hanya menuntut satu; adil adalah harga mati.

© ikvjou ©

Ada pepatah yang mengatakan bahwa; semakin kamu takut, maka ketakutan itu asalnya akan jadi dari dirimu sendiri. Barangkali pepatah itu ada karena sang filsuf tahu bahwasannya Seok Jin sedang terkungkung oleh banyak rasa sakit yang bersarang dari dirinya sendiri─mungkin itu terdengar aneh dan tidak masuk akal, sebab dalam beberapa kasus ada sesuatu yang memang tidak sanggup dijangkau oleh akal manusia.

Contohnya menaksir; sejak kapan Tuhan itu ada? Atau, berasal dari mana Tuhan itu? Mungkin bisa juga jadi begini pertanyaannya; seperti apa Tuhan itu dan mengapa kita harus mematuhi sementara kita tidak mengetahui wujudnya?

Seok Jin tidak akan jadi hamba yang durhaka kan, hanya dengan bertanya hal-hal semacam itu? Ini memang bukan ranahnya, dan─barangkali─orang yang bisa membantunya saat ini adalah Jung Kook, yang memang berkecimpung kepada hal tersebut.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Sejak tadi saya melihatmu gelisah."

Mendongak, ada senyum yang coba Seok Jin berikan─tetapi belum cukup untuk mengusir was-was dari dalam diri Christa. Dengan tenang gadis itu melangkah, duduk di samping Seok Jin. "Ada apa, Pastur Kim?"

Mengembuskan napas berat, "Tolong kemasi barangmu dan milik bunda. Hari ini kita pulang."

"Kenapa?!" Christa terlihat tidak senang, mengerutkan alis dengan penuh tanda tanya. "Ini tiba-tiba sekali, Pastur Kim."

"Tolong kamu patuhi perintah saya dan jangan banyak tanya, Christa."

Demi Kristus, Seok Jin tak pernah berniat untuk menjadi otoriter dengan berengsek melangkah keluar begitu saja. Ia hanya sedang dalam masa kalut dan gamang; merasa terombang-ambing dan rapuh.

Seok Jin hanya sedang merasa gelisah.

Halo Kakak,
Puji Tuhan suratku sampai padamu kalau kakak sedang membaca surat ini. Maaf aku tidak menghubungi linimasamu karena jaringan komunikasi di area militerisasi sedang disabotase. Jadi, akan lebih efektif kalau aku mengirimkan surat padamu melalui orang kepercayaanku.

Kak Seok Jin, ayah sungguh tidak terkendali. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapinya. Satu-satunya yang kupunya hanya kakak. Kakakku yang taat dan beriman. Semoga Yesus selalu memberkati kakak di mana pun.

Kak, tolong bawa ibu kembali sejak surat ini sampai dan kakak baca. Akan ada pemusnahan masal melalui stasiun nuklir di dekat 74, rekayasa kecelakaan kerja dengan bocornya radioaktif. Kakak pasti tahu kan, ambisi siapa ini? Tentu saja ayah kita yang sudah jauh dari jalan kebenaran dan tak pernah lagi menaati perintah Kristus.

Tolong segera kembali, Kak. Aku menunggu kakak, dan Jung Kook; gadis itu sudah meninggal. Lagi-lagi ayah dalangnya. Maaf aku telat mengatakan ini, tetapi aku janji akan meluruskan banyak hal dengan kakak. Segera pulang. Yesus memberkatimu. Amen.



ikvjou💕

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang