xxiv

386 132 25
                                    

Awalnya ia gentar menghadapi semua ini. Tetapi, entah mengapa ada rasa puas dan hangat yang diam-diam menyelusup tiap kali ia menekan lawan yang beradu argumen dengannya, seolah-olah tiap kata yang meluncur dari bilik bibirnya ialah belati yang ditikam sedalam-dalamnya ke dalam bilah dada. Lambat laun, luka-luka yang ditimbulkan dari hasil perdebatan membesar, mengaga cuma-cuma.

"Jadi," Pastor Kim membiarkan dirinya untuk mengakhiri debat kusir yang sejak tiga puluh menit lalu tak kunjung usai, "apa yang kau inginkan, Christalina?"

Cahaya matahari sebelumnya tak pernah menjelma menjadi darah selayaknya hari ini. Christa tergugu, padahal itu cuma pertanyaan sepele: tetapi, entah bagaimana terasa sangat berat dan sesak untuk dijawab. Pasalnya, Christa sendiri tidak yakin dengan apa yang inginkan.

Wanita adalah simbol dosa−dan Christa bagian dari itu. Ia bukan keturunan Eva apalagi Maria, Bunda yang Mulia dan penuh kasih itu. Christa hanyalah perempuan yang diciptakan oleh Tuhan dengan mencuri rusuk lelaki yang ia sendiri tidak kenal. Nah, bahkan sebelum ia turun dan terlahir, perempuan telah melakukan dosa dan menjadi seorang pendosa. Lantas, apa bedanya dengan Christa−juga prempuan-perempuan lain−yang terlahir dengan menanggung beban dosa?

Bukankah, berarti wanita memang harus menerima takdirnya sebagai simbol dosa?

Demi membasahi kerongkongan yang sejak tadi kering, perempuan itu berdeham sejenak, "Aku rasa kamu perlu menjauhi saya, Pastor."

Ada gelegak aneh di dalam jantung lelaki itu, persisnya secara spontan sensasi sejenis itu muncul. Kedua atensi Seok Jin terbelangah, begitupula dengan Christa yang telah sampai hati mengucapkan kalimat barusan. Menjauhi? Menjauhi bagaimana, batin Christa. Bahkan, perempuan itu tak pernah sekali waktu membayangkan akan jauh dari lelaki yang sekarang ini mengemban diri sebagai pendakwah itu. Christa telah teramat lalu mencintai lelaki itu, dengan segenap hati dan raga. Walau (menurutnya) ia adalah dosa yang menjelma dan telah merenggut kesucian lelaki itu, namun ia tak mau mengakui bahwa cintanya pun juga menjelma dosa. Cinta perempuan itu kepada Pastor Kim teramat suci: sederhana, tak ada cacat, begitu saja dan tanpa alasan.

Ia cinta, ya sudah.

Sesederhana itu.

Namun, apa Tuhan juga masih memiliki penghakiman atas itu?

"Benar itu yang kau inginkan?" tanya Seok Jin. Dadanya telah banyak rumpang, telah banyak denyut dan nyeri yang menjelma luka dan nelangsa. Seok Jin tidak suka berperan seperti ini; yang diam-diam penuh sabar. Seok Jin ingin menjelma terik mentari yang berkobar, menyala-nyala penuh ketegasan. Masalahnya, lelaki itu selalu tidak bisa. "Sungguh kau ingin aku menjauhimu?"

Meneguk ludah, Christa tak langsung menjawab. Toh, apa jadinya ia tanpa Pastor Kim? Ia bisa menerima segala bentuk perintah dan larangan yang turun dalam nubuat, tetapi tidak untuk ini. Hanya, keadaan dan takdir sedang tidak sependapat. Christa tak bisa memihak dan berada di pihak salah satunya; Seok Jin atau Jung Kook−jelas, bukan dirinya yang menciptakan pilihan sejenis.

Perempuan itu mengerat kuku-kukunya yang mana kedua tangannya telah benar-benar dingin, "Pastor Kim ...," katanya setengah berbisik, setengah mengeluh. Pastor Kim segera meraih kedua tangan itu untuk berada di dalam miliknya. "Aku tak bisa jauh darimu, kecuali kau yang menjauhiku."

Seok Jin sependapat: ia pun demikian. Masalahnya, Pastor itu tak mau. Christa telah menjadi bagian dari dirinya yang solid, mutlak, juga pasti. Ia tidak peduli jadinya bagaimana bila Christa menikahi Jung Kook. Toh, itu hanya perkawinan antara dua tubuh manusia, tidak dengan hatinya.

"Kau bisa melawan Tuhan, lantas mengapa tak bisa melawan kehendak manusia?"

© ikvjou ©

Hidup itu misterius; Tuhan demikian. Inilah rahasia yang harus ditanggung Christa sampai mati, bahwa ia tidak mau lagi percaya. Di hari pernikahannya, perempuan itu telah melepaskan semua titel di dirinya: menyerahkan diri begitu saja. Sumpah lelaki itu masih tak dapat menggetarkan hati Christa, sehingga ia merasa bahwa Tuhan betulan menjualnya secara cuma-cuma.

Christa tak merasa perlu untuk bersuka cita.

Sejak pertama kali ia berjumpa dengan Jung Kook, perempuan itu tahu bahwa Jung Kook adalah lelaki yang baik. Hanya, ia tak pernah tahu bahwa Tuhan juga telah sekejam itu dengan menggunakan Jung Kook. Lelaki itu tak tahu apa pun; ia benar-benar tidak tahu. Dengan gigi yang berderet, senyum lelaki itu terasa konyol di mata Christa. Padanya telah diucapkan ijab, dan secara serempak semua berseru sah!

Hari ini, langit telah mengukir takdir: mencatat sejarah, pun iblis-iblis di langit sana berpesta ria. Iblis-iblis yang dimaksud ialah yang telah berperan dalam konspirasi ini, menjadikan Christa dan Jung Kook sebagai sepasang suami-istri. Itu adalah hal yang konyol, pikir Christa.

Harusnya Christa senang mendapatkan lelaki yang mapan, tampan, dan menawan selayaknya Jung Kook. Cerdas adalah poin utamanya. Siapa yang tidak suka? Christa tidak, tuh. Apa pun yang berada di diri Jung Kook tak sanggup sekali waktu membangkitkan gairah perempuan itu untuk mencintainya. Sekali waktu ia pernah berdegup untuk lelaki itu, namun jelas berbeda dengan apa yang ia rasakan ketika bersama Seok Jin.

Sementara, pernikahan ini hanya karena rasa bersalah dirinya pada Jung Kook−lelaki yang tak bersalah dan tahu apa-apa itu. Jung Kook telah banyak memberikan kejujuran yang mana tidak bisa diberikan oleh Pastor Kim pada dirinya, begitupula dirinya kepada Jung Kook. Sampai hari ini, sampai ijab-nya diutarakan, Christa masih bungkam.

Perempuan itu hanya tak sampai hati melukai Jung Kook sedemikian. Ia tak mencintai lelaki itu balik saja sudah sebuah penderitaan untuknya, bagaimana bila Jung Kook tahu yang sebenarnya. Barangkali Jung Kook akan membenci Christa yang teramat daripada bagaimana hatinya mengkhianati lelaki itu. Christa tak ingin kehilangan keduanya. Christa menyayangi keduanya dengan porsinya masing-masing.

Seok Jin sebagai cintanya, dan Jung Kook sebagai suaminya. Cukup adil, kan?

"Christa?" Perempuan yang dipanggil namanya itu terkesiap, mendongak sejenak demi menjumpai tatapan Jung Kook yang teduh, yang luar biasa berbinar diurapi kebahagiaan. Tak sopan bila perempuan itu tak membalas dengan sejumput senyum yang dipaksa. "Kau sakit?"

Menghela, Christa menggeleng lemah. Ia kemudian menarik ujung tangan lelaki itu, menggenggamnya erat seraya mendekatkan cucuknya pada daun telinga lelaki itu, "Apa pun yang terjadi, kau akan percaya padaku, kan?"

Tersenyum, Jung Kook mengangguk penuh keyakinan. Tanpa suara, tanpa sebait kalimat penuh basa-basi. Tegas dan yakin, anggukan itu diberikan pada Christa yang kini telah menjadi bagian dari dirinya di mata Tuhan. Melihat hal tersebut, Christa tersenyum. Ia senang, tetapi ia sedih sekaligus merasa miris. Bersama perasaan yang tidak ia ketahui, ia peluk lelaki itu. Ia kecup pipinya sekali sebelum hatinya menjerit dan menangis darah.

Maafkan aku, Jeon ... sungguh maafkan aku yang jahat ini.

 sungguh maafkan aku yang jahat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang