xviii

1.4K 405 115
                                    

📜

Pemuda itu menerima toples berisi kelingking dengan penuh kerut di kening. Sepotong ujung kelingking membuat kedua bola matanya terbelalak; sebuah amarah mencuat, mengisi rongga-rongga di dada. Sementara Taehyung masih di situ; darah telah mengering di ujung kelingkingnya yang potol, dahinya berkeringat ditemani pucat pasi wajahnya.

"Apa yang kamu lakukan, Tae? Kamu gila!" Jung Kook menyalak dalam amarah, pada ketidakmengertian dan penuh tanda tanya; di mana si bodoh Taehyung itu sembunyikan akalnya yang secara cuma-cuma memotong kelingkingnya sendiri. Tentu Jung Kook marah, pada alasan apa pun dan oleh karena apa pun yang nanti akan dijelaskan si empu.

Bersimpuh, Taehyung memilih untuk menyungkum tanah bersama letih di kedua pundak. Posterior ia menangis, tumpah ruah air matanya; tersedu-sedan, menangisi banyak hal yang telah mengisi saban harinya.

"Ayahku gila, Jeon." Ya, semua yang berakal tahu itu─terutama Jung Kook. "Aku malu. Aku sangat malu terlahir dari air maninya sebagai anak. Aku malu."

Menghela, pemuda Jeon itu cangkuk guna menyamai posisi dirinya dengan Taehyung. Dalam kehangatan yang selalu terbuka, ia rengkuh pemuda itu. Ia selimuti kekecewaan Kim Muda dengan hangatnya pertemanan.

"Seburuk-buruknya ia, Nam Joon tetaplah ayahmu."

Justru itu, kalau Taehyung bisa, sudah pasti ia kuras darahnya agar tak ada aliran dalam diri beratasnamakan Nam Joon─Presiden Kim; sang diktaktor, ayahnya. Bermula dari politik, ayahnya jadi sangat tak terkendali akan kekuasaan. Taehyung tak mengenali lagi sosok ayah yang berwibawa. Nam Joon memang berhasil pada pencapainnya, hanya saja ia lupa; lelaki itu telah gagal menjadi kepala rumah tangga.

"Jeon, kamu tahu," Taehyung menjeda, kerongkongannya semakin kering dan berat, "ujung kelingkingku ini tidak akan cukup menebus dosa ayahku. Warga di 32 sudah dibantainya dengan keji, tak manusiawi, dan beradab."

© ikvjou ©

Malam merangkak naik. Jalan-jalan yang tadi begitu ramai telah jadi sangat mencekam; asap-asap sisa pembakaran ban bekas membumbung tinggi, mayat bergelimpangan di sepanjang jalan, belum lagi bau amis yang kental menyapa bulu-bulu hidung.

Bocah laki-laki itu bagai seonggok daging tak berakal; berdiri di tengah jalan, di samping tank-tank yang bertanggek angkuh. Letusan senjata kembali terdengar: memekakan, menggelegak seolah-olah membawa pertanda bahwa Izrail telah datang.

"Mampus kau keparat! Masuk sana ke pintu Malik!"

Masih di situ─bocah laki-laki itu masih di sana; menyaksikan kekejian pasukan bersenjata yang beberapa saat lalu berhasil mengkudeta petinggi negara. Kursi telah berganti pemilik seumpama orde yang memperbaharui tatanan.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Jeon?"

Bocah itu tersentak, menolehlah ia dengan wajah sendu tanpa tangis pilu. Rasa mencekam telah melewati batas-batas terjauh dari dirinya, sehingga ia tidak perlu lagi merasa takut.

"Mengapa mereka begitu? Kenapa ayahku dibunuh?" Jeon kecil tak gentar, suaranya juga tidak gemetar. Tubuh kecilnya sama sekali tidak selaras dengan pemikirannya. "Kenapa ayahku dibunuh? Mengapa ayahku dibunuh oleh tentaranya sendiri? Apa ayahku telah melakukan kejahatan pada negeri ini?"

Terengah, semesta kamarnya terasa jauh lebih gelap nan mencekam. Dadanya naik turun, matanya berpendar ke sekeliling: toples berisi potongan jari sahabatnya masih di situ.

Seraya meremas kuat alas tidurnya, bibir pemuda itu seperti ubur-ubur; suaranya tak timbul tetapi bergerak-gerak. Keponakannya (Somi) dengan nyenyak tidur di sebelah, mengerat bagai anak ayam pada induk. Hanya saja, tubuh Jung Kook mendadak panas nan letih, dan berkeringat, dan diserang tremor mendadak.

"Ya Allah, mengapa Engkau hidupkan kejadian itupada mimpi? Engkau tak pernah memberikan cobaan melampaui kesanggupan hamba-Mu,kan? Tetapi, hamba merasa tak sanggup. Hamba adalah makhluk yang lemah, yang tak tabah. Innalillahi wa inna illahi rojiun."



ikvjou💕

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang