iv

2.4K 595 146
                                    

📜

"Kak Seok Jin? Christa?"

Sekali saja kalian perlu mendengar rintihan benda-benda apa saja yang berada di sekitarmu, yang tak pernah kalian beri perhatian. Mungkin sebutir kerikil, desau kecil angin malam, atau apa saja yang tak pernah teratensikan olehmu. Bisa jadi mereka tengah berbicara; mengatakan sepatah dua patah dalam bahasa mereka, atau merasa kikuk oleh rupa-rupa tiga manusia di dekat mereka; ada Jung Kook yang melongo di depan Seok Jin dan Christa yang barusan keluar bersamaan dari mobil.

Keadaan jentaka ini diperparah dengan solah Seok Jin yang melengos masuk begitu saja; tak berucap secuil kata. Sosoknya memang terasa dingin dengan perawakan tegap nan berwibawa──sungguh Christa sangat sadar akan hal tersebut sejak kali pertama mereka bersipandang. Rahangnya yang tegas, bibirnya yang senantiasa terkatup juga kedua bola matanya yang tajam──dan jangan lupakan tubuhnya yang sering kali kaku bersikap.

"Christa?" Jung Kook yang dirundung rasa penasaran berlari kecil, menghampiri gadis itu. "Kalian berdua ada apa? Habis dari mana?"

"Tidak." Christa menggelengkan kepala skeptis, "Barusan Pastur Kim mengantarku ke masjid."

"Hah?! Pastur Kim yang itu?" Jung Kook berubah hiperbolis, menyongsong sedikit badannya seraya menunjuk rumah Hellen──mengimplementasikan sosok Seok Jin. "Kim Seok Jin? Kak Seok Jin yang itu?"

Christa angguk lagi. "Memang Pastur Kim yang mana lagi selain dia di sini?"

Teruna itu berubah gamang ekspresi wajahnya. Dahinya mengerut, diikuti oleh kedua alis yang menyatu. "Tumben sekali. Ini aneh, sungguh."

"Memangnya kenapa, Jeon?"

"Kamu kan wanita, lalu Kak Seok Jin mengantarmu ke masjid. Ini memang Kak Seok Jin yang sudah berubah atau───"

"Kenapa, sih?"

"───a ... tidak, tidak." Jung Kook menggelengkan kepala dengan cepat, mengenyahkan pikiran-pikiran aneh di kepala. Meskipun setengah akal dan hatinya jadi antitesa, tetapi ia mencoba mahfum. "Omong-omong kalian bisa cepat akrab, ya? Itu hebat sekali."

Giliran Christa yang mengerutkan kening, "Kenapa hebat? Bukankah seorang pastur memang harus cepat mengakrabkan diri di mana pun?"

"Iya, aku tahu itu. Tetapi kamu ini kan, wanita."

"Kalau aku wanita memang salah?"

"Tidak begitu." Jung Kook menghela napas, memaksakan secuil senyum, "Maksudku hanya ... kau tahu kan pastur itu───"

"Apa jangan-jangan Pastur Kim seorang misoginis yang membenci feminisme?"

© ikvjou ©

Barangkali tak ada atmosfer sepanas dan serikuh ini, meski pendingin menemani sepanjang perjalanan. Ada secuil penyesalan di dirinya dan hendak ia berupaya untuk meregas suasana tak kondusif ini. Jung Kook merasa bersalah dan rendah riuh suara di dalam hatinya memaksa ia untuk mau melirik sesosok gadis di sebelah.

"Maafkan aku, ya."

"Eh?" Christa berjengit, menoleh ke sampinglah dengan segera. "Kenapa kamu minta maaf, Jeon?"

"Aku hanya merasa harus. Kamu tahu, Kak Seok Jin bukan sosok yang kamu tuduhkan seperti tadi. Dia hanya seseorang yang rikuh, kikuk, dan ya kamu tahulah. Dia senang skeptis dengan pikirannya sendiri."

Spontan kekehan terdengar dari ceruk bibir Christa. Kedua bola penglihatan gadis itu menyipit, memandang lebih presensi laki-laki di sebelahnya. Jujur saja, ekstasenya memang berpikiran yang tidak-tidak soal Seok Jin. Tetapi sungguh, Christa tak sama sekali serius menuduhkan itu padanya.

"Aku paham, Jeon. Pastur Kim dan kamu itu adalah seseorang yang berdevosi, yang seluruh hidupnya dibaktikan pada Tuhan. Jadi tentu kamu merasa aneh kalau Pastur Kim mau pergi menemaniku." Ada jeda yang sengaja dipersilakan hadir, menurunkan suasana rikuh di antara mereka. "Tetapi kamu perlu tahu, Pastur Kim menemaniku untuk beribadah──hanya itu. Dan sekali lagi, kamu juga merasa heran kan; sebab ia bukan menggiring domba yang tersesat ini melainkan melepaskan domba yang sudah tersesat ini."

Jung Kook kicep, dibuat tak berkedip. Alih-alih melanjutkan aktivitas mengemudinya, lelaki itu justru memilih untuk menepikan mobil.

"Aku berterima kasih karena kamu adalah orang yang permisif. Kita harus berteman baik setelah ini."

Christa kembali terkekeh, menganggukan kepalanya dengan cepat. "Tentu saja. Aku senang sekali berteman denganmu. Dan, o! Kudengar kamu lulusan filsafat. Sesekali mungkin kita bisa membuka percakapan diskusi."

Jung Kook tersenyum. Mengangguk, ia nyalakan kembali mobilnya dan melaju gegas. "Tentu saja. Yang barusan kita lakukan juga berdiskusi. Seperti kamu dan aku; yang berjalan di antara dua mural yang berbeda."

"Dan menurutku tak ada yang lebih bagus atau lebih buruk di antara mural tersebut. Sebab, tak benar-benar ada nilai untuk estetika. Estetika tak bisa ditentukan sebuah nilai dan nilai tak bisa menentukan estetika."

Jung Kook mengangguk, "Ini hanya soal persepsi dan sudut pandang. Soal ekspektasi, ekstase dan dogma."

"Betul sekali," sahut Christa antusias. "Aku jadi merasa iri padamu, Jeon. Kamu punya pemikiran dan pandangan yang bebas, tidak represif."

"Kamu juga," balas Jung Kook, menoleh sekilas ke arah Christa. "Dalam epos, mungkin kamu seperti Kunti."

"Kunti?"

Jung Kook mengangguk, "Ibu Kunti sepertimu. Sosok yang begitu mengayomi."

"Hahaha." Tawa Christa meledak, disahut keheranan oleh Jung Kook, "Aku selalu berharap disamakan dengan Drupadi."

"Hah ...." Jung Kook menghela napas masam, "Dasar wanita. Kecantikan memang selalu memakan hati, ya."

"Aku serius berpikir soal Drupadi, tetapi bukan pada kecantikannya──melainkan pada caranya ikhlas dan mengayomi. Ibu Kunti memang bijak dan mengayomi lima Pandawa sebagai putranya. Tetapi, hanya Drupadi yang rela mengayomi dan mengabdi pada kelima Pandawa sebagai istrinya. Satu wanita untuk lima laki-laki. Tidakkah dia begitu hebat?"

"Tetapi aku tidak bisa menemukan Drupadi sebagai sosok yang mengayomi."

Christa terlihat kaget, "Kenapa begitu?"

"Kalau ia sosok yang mengayomi, ia tidak akan mendorong Pandawa berperang di Kurusetra. Kalau ia mengayomi, seharusnya perang tidak terjadi. Ia bukan sosok yang ikhlas; sebab ia menuntut dendam atas perlakuan Kurawa padanya."

"Tetapi apa yang dilakukan Drupadi itu benar. Ia hanya menuntut haknya karena dilecehkan."

Jung Kook tersenyum. Secara esoteris ia menoleh, memerhatikan ablur hitam di sebelahnya. Dengan ceruk lebar yang khas, ia berdeham dalam kata-kata.

"Tangkai yang layu selalu dengan sendirinya akan mati, lalu jatuh merata di atas tanah. Memotong tangkai yang layu sama saja dengan memakan mangga yang masam. Terburu-buru."






ikvjou💕

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang