vii

1.9K 550 208
                                    

 📜

"Huh ...."

Ada embus berat yang keluar dari lubang pembaunya; lantas ia pejamkan dwiatensi sejenak sebelum menjatuhkan kepala di atas meja. Kedua tangannya pun tak luput ia gunakan untuk mengusuk rambut─membuatnya terurai ke sana-sini, bahkan nyaris terjambak.

"Aduh, Christa. Betapa bodohnya kamu, sih!" Ia bisiki dirinya dengan rutukan, semakin dalam pula menenggelamkan wajah di atas meja.

Iya, betapa bodoh dan tololnya ia. Otak dan sikapnya tak bisa berafiliasi dengan tepat─selalu begitu; ia pintar, tetapi tak cukup pintar dalam beberapa situasi. Contohnya pada percakapan tiga hari yang lalu, di mana hanya ada dirinya dan Pastur Kim─bersama dialog super bodoh.

"Kenapa aku harus berkata seperti itu?" Christa kembali bergumam seraya membenturkan dahinya sedikit, "Sampah betul mulutmu ini."

"Mulut siapa yang sampah?"

"Astaga!" Bukan main hebohnya ia berseru, mengangkat kepala, lantas terperangah akan eksistensi seseorang yang sudah duduk manis di hadapannya─entah sejak kapan. "Huh? Jeon?"

Si lelaki bergigi kelinci itu tersenyum. Ia tak menjawab, tak bertegur sapa selain mengangkat kedua lengannya untuk ditumpukan di atas meja. Mengangkat sebelah alis, ia mengulas seringai, "Kenapa? Terlalu senang bertemu denganku, ya?"

Christa berdecih; apa pula Jung Kook ini, pikirnya. Ia datang dengan sekonyong-konyong penuh dengan kepercayaan diri. Yang tidak gadis itu mengerti pula adalah kedua alisnya anggup-anggip, membikin hati gadis itu makin jengah. "Ada apa sih, Jeon? Kamu datang tiba-tiba begini. Mengejutkanku."

"Hei!" Jung Kook menaikan oktaf suaranya, menarik atensi gadis itu. "Justru aku yang terkejut mengetahuimu berleha-leha di kafe pada jam kerja. Aku tadi ke kantormu, tahu. Kamu sedang ada masalah, ya?"

"Bagaimana kamu bisa tahu kantorku?" tanya Christa penuh selidik. "Kamu sendiri bagaimana? Tidak ada kegiatan di gereja? Kamu kan, calon pastur."

Secara impresif Jung Kook terkekeh; kedua bola matanya menyipit esoteris. Ia kultuskan pandangan pada si dara, "Jangan bahas aku, mari kita bahas kamu saja," ujarnya. "Yoona memberitahu letak kantormu."

Mencebikan bibir, gadis itu memberenggut, "Semuanya saja Yoona beritahukan padamu."

"Bukan begitu," sahut Jung Kook, memposisikan diri lebih dekat dengan Christa. "Aku ingin bicara serius denganmu. Tetapi sepertinya kamu sedang ada masalah sampai membolos jam kerja. Coba kamu beritahu masalahmu padaku, barangkali aku bisa bantu."

Keheningan menjamu, memberi jeda di antara percakapan. Tak seorang pun bertutur selain salah satu di antaranya berpikir dengan jalan yang rumit dan berputar-putar. Ia adalah Christa─si gadis dengan jalan berliku nan rumit itu, serupa polah pikirnya. Belakangan ada banyak hal yang mengganggu pikiran (selain tentu keadaan Hellen), yang saban hari membuat dirinya membatin tersisih, cukup ganjil akan sepak pikir orang-orang di sekitarnya, terutama di lingkungan kerja.

Apa yang Christa pikirkan sebenarnya sudah lumayan lumrah di kalangan masyarakat, yang mana sesuatu yang mengganggunya tersebut tidaklah berasial. Begini, contoh kecil persoalan ini sebenarnya ada pada lingkup kecil dari sebuah kemerdekaan; sisi demokratis yang hadir dalam ruang sosial.

"Aku mau tebak sesuatu." Christa yang sedang menimbang mengangkat kepala, mengatensikan diri pada lelaki itu yang mana tengah mengganyang jarak pikir di antara keduanya. "Apa ini tentang lingkungan kerjamu yang sudah tidak lagi sehat?"

O, dari mana ia bisa menebak; impresif gadis itu bersijingkat dalam pikir sebelum pada akhirnya mengangguk. Memberi celah bagi Jung Kook untuk masuk lebih dalam; membaca, memahami, bertujuan memasuki konversasi yang lebih kompleks. Maka, Jung Kook memposisikan diri dengan stagnan. Bila mana percakapan ini berhasil (atau setidaknya jadi bahan diskusi), paling tidak sedikit beban Christa buyar─begitu maksud lelaki itu.

"Heum ...." Jung Kook mengambil napas sejenak, "Aku tahu ini agak sensitif, sebelumnya aku minta maaf. Apa ini berhubungan dengan dogma?"

Christa mengangguk.

Membuang napas berat, Jung Kook melanjutkan, "Kamu percaya padaku kan, untuk mau terbuka membahas masalah ini? Maksudku kalau kamu tidak percaya, ini akan jadi percakapan yang sia-sia. Jadi, kamu benar-benar percaya padaku?"

Untuk kedua kali, gadis itu mengangguk. "Kamu adalah teman diskusi yang baik, jadi aku pikir cukup tepat membicarakan hal seperti ini denganmu. Meskipun, seperti katamu; kita ini adalah seseorang yang berjalan di antara dua mural yang berbeda."

"Mural bukan sesuatu yang harus dijadikan perbedaan besar. Hanya luarnya saja yang berbeda, sebab diri ini semuanya terlahir sama dari pencipta. Tergantung dari keinginan kita mau bagaimana melukisnya; semisal aku yang dengan lebih abstrak dan kamu terpusat."

"Itu benar. Aku setuju dengan semua ucapanmu," angguk Christa. "Tetapi tidak semua berpikir seperti itu. Ada banyak pikiran sempit dan pradigma yang mengganggu. Ya, kamu tahulah. Keyakinanku."

Jung Kook mengangkat sebelah alis, "Ada apa dengan keyakinanmu?" tanyanya dengan nada rendah. "Dipandang radikal?"

Christa mengangguk.

"Ah ...." Lelaki itu kemudian angguk-angguk kepala. "Jadi kamu merasa digolongkan dalam tatanan sosial?"

"Begitulah," celetuknya kesal. "Kita mengenal kebebasan, tetapi aku merasa terkungkung dalam batas-batas yang dibangun oleh beberapa pihak. Begini, kalau saja aku tidak cukup berpengaruh di usiaku ini dalam bidang yang kutekuni, mungkin aku sudah didepak ke zona 74 atau 32. Kamu paham maksudku, kan?"

Jung Kook mengangguk; tentu saja ia paham─sangat. Pun ia merasakan hal demikian, kepekatan dan kekelaman sebelum tembok-tembok ketidakadilan pada rezim ini dibangun. Membagi wilayah dalam zona-zona militerisasi; yang mana sekelompok orang beragama dari salah satu golongan dianggap sebagai pemberontak dan membahayakan politik serta stabilisasi negara. Sehingga, X memberi dua wilayah pada kota 74 dan 32 kepada orang-orang yang dianggap membahayakan negara.

Pada mula kekacauan itu, Jung Kook adalah korbannya. Namun ia tak tumbang dan kalah begitu saja oleh Rezim Kim─yang mulai merongrong sedikit demi sedikit pada doktrinisasi dogma. Ia mengambil tindakan ekstrim, berkelok dari jati dirinya, berkamuflase pada sarang musuh. Sebab kalau bukan dirinya yang memulai, siapa lagi? Semua orang bungkam, sebab mereka hanya kaum proletar yang kuyu di bawah kuku sang diktaktor. Maka, ia harus memulai bangkit, mengerat sedikit demi sedikit.

Kayu jati saja bisa rapuh termakan rayap, apalagi kekuasaan yang serupa air.

"Memangnya apa yang sudah mereka perbuat padamu?"

"Tidak ada selalin rasialisme," balas Christa. "Profesor Lee memberikan banyak perlindungan padaku."

Mengembuskan napas, Jung Kook tersenyum penuh arti. "Kamu tahu tidak saat Allah mengutus Jibril untuk mengambil tanah dari bumi, bumi justru menolak dan menangis?"

Gadis itu bungkam.

"Jibril kemudian kembali ke hadapan Allah dan tidak membawa segenggam tanah sama sekali. Padahal saat itu Allah ingin menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah di atas muka bumi. Allah pun mengutus Mikail dan Israfil datang kembali, bumi masih bersikeras menangis dan menolak. Lalu datanglah Izrail yang langsung memukul bumi dengan pedangnya dan mengambil segenggam tanah."

Keheningan meramu sejenak dalam percakapan mereka.

"Maka dalam surat Al Ankabut ayat 64 Allah berfirman; dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahuinya." Dalam kebisuan, Jung Kook tatap lekat kedua bola mata Christa, "Sesungguhnya sejak sebelum penciptaan manusia dimulai, hakikatnya tertanamlah sifat batil, yang mana memang manusia itu sendiri senang berbuat kerusakan dan keburukan. Tinggal manusia itu sendiri mengendalikan dirinya; hawa nafsu dan selalu ingatlah pada pencipta. Karena pencipta adalah kontrol dari diri manusia itu sendiri."

"Mustahil." Christa berkedip, mengangakan cucuknya dalam kegamangan luar biasa. "Jeon, kamu ini calon pastur. Bagaimana bisa kamu tahu ajaranku sedalam ini?"


ikvjou💕

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang