viii

1.9K 515 245
                                    

📜

"Tidak mungkin ...."

Kekecewaan dan kegamangan bercampur manakala ia membaca sebuah surat. Dalam detik-detik pemahaman diri pada tiap kalimat yang tertera, kedua tangannya impresif meremas surat tersebut. Ia sangat tercengang, bahwasannya ia akan kehilangan sosok yang ia percayai di dunia ini─selain ayah dan ibunya serta guru-gurunya.

Jeon Jung Kook.

Lelaki itu─o! Tidakkah ia begitu gila dengan mengajukan surat pengunduran diri dari seminari, juga izinnya untuk meninggalkan status frater. Ini sungguh di luar akal logika, Seok Jin betul tak paham dengan yang satu ini.

Jung Kook adalah temannya yang paling rajin dan taat; cerdas akalnya dan senang ia jadikan tempat diskusi. Terpaut dua tahun lebih muda tak menjadikan Jung Kook tak lebih dewasa. Jung Kook adalah orang yang paling dewasa secara sikap dan logika─di balik sikap kekanak-kanakan dan introvertnya yang kadang timbul.

Menghela napas puluhan kali, sudah ia coba hubungi pemuda itu, tetapi tak ada satu pun yang membuahkan. Seok Jin tengah terbebani akan kasus Hellen, yang mana ia sangat membutuhkan bantuan Jung Kook. Tetapi, laki-laki itu menyerah akan keinginannya berdevosi.

Bukankah selama ini Jung Kook yang Seok Jin kenal adalah pemuda yang selalu optimis dan membara? Lalu, ada apa? Mengapa tiba-tiba ia jadi mengkhianati hatinya begini?

Melajukan kedua tungkai lebar-lebar, Seok Jin tentu tak bisa tinggal diam dengan keputusasaan sepihak ini. Setidaknya, ia perlu──

"Pastur Kim!"

──alasan yang logis.

Terhenti, menolehlah Seok Jin ke arah sumber suara. Gadis itu. Pretensinya membikin Seok Jin secara intuitif berlari kecil menghampirinya lebih dulu.

"Pastu Kim──"

"Yoona, bisa kamu beritahu saya di mana Jung Kook?"

Hening.

Sejenak kedua atensi gadis itu membelo. Tenggorokannya tercekat, diserang kekeringan mendadak.

"Yoona, tolong beritahu saya."

"Eum ... anu." Yoona terhenti, meneliti sejemang obsidian hitam milik Seok Jin, "Aku rasa ada di kantor Christa."

"Christa?"

Ah ... kali ini kedua obsidian pemuda itulah yang membelo. Domba betina yang jelita itu; dalam diam ia kepalkan kedua buku-buku tangannya dengan kuat. Manakala ia diserang kekalutan yang luar biasa, melangkahlah ia pergi tanpa sepatah kata. Hanya berteman kekecewaan dan ketidakmengertian.

"Apa kamu begini demi seorang perempuan, Jeon?"

© ikvjou ©

"Jadi, kamu sungguh tidak takut padaku?"

Kekehan terdengar nyaring sepanjang siang itu, mengisi rongga-rongga senyap di ruangan tersebut. Si lelaki menopang dagu, lemat-lemat ia tatap si perempuan secara detil; ketika mengikat rambut hitam pendeknya, mengenakan apron merah muda bermotif bunga-bunga, memotong sayur-sayuran pun tak luput dari atensi.

"Kenapa aku harus takut padamu." Si perempuan membalas, bergerak sedikit ke arah kulkas guna mengambil beberapa bahan makanan. "Moralmu sangat baik."

Seringaian tercetak jelas manakala rungunya mendengar ucapan barusan. Sebelah alisnya menggantung, dan Jung Kook─demi tuhan jadi seperti orang pandir. Barang sedetik tidak sanggup melenyapkan senyumnya yang sejak tadi mampir. Untung saja Christa sedang sibuk, jadi tak sadarlah ia bahwa lelaki itu nyaris kehilangan setengah dari akal sehatnya.

Candramawa [BTS FANFICTION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang