Kenapa Dia?

26.4K 1.8K 15
                                    

"Kamu aneh, Gana."

"Aneh kenapa, Al?"

"Malam-malam begini kamu mengajakku ke danau."

Dia menghela napasnya. Tatapannya sayu, tidak seperti tadi saat berada di rumahku. Kurasa dia tengah menyembunyikan sesuatu.

"Aku ingin," ucapnya pelan hampir tak terdengar.

"Kamu kenapa, Gana? Ada masalah dengan orang tuamu?"

"Tidak ada."

Matanya menatap langit, sedetik kemudian ia tersenyum. Aku memandangi wajahnya yang terkena sorot lampu. Ada yang berubah, pipi Gana terlihat semakin tirus. Apakah dia sedang sakit?

"Gana."

Gana menatapku sembari mengangkat alisnya.

"Kamu sedang sakit?"

Gana terlonjak, ia mengalihkan arah pandangnya. Ia terlihat sangat gugup.

"Mengapa kamu bertanya seperti itu?"

"Pipi kamu tirus, tidak seperti pertama kali kita bertemu, gembul," ucapku sambil mengutak-atik pipi kirinya.

"Alea, aku tidak sedang sakit, hanya saja aku perlu diet."

"Diet? Untuk apa laki-laki diet?"

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin."

Aku melepaskan tanganku dari pipinya. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Gana. Ia mengelus puncak kepalaku sambil menatap langit.

"Alea."

"Iya, Gana?"

"Bintangnya indah."

"Seperti kamu, Gana."

Gana menggenggam tanganku.

"Kamu itu bintang. Indah, sangat indah. Keindahanmu abadi, tak akan mati, bahkan terganti. Sekalipun kamu meredup, kamu masih tetap hidup. Aku sering berputus asa saat tak melihatmu. Aku ini gampang merindu, harus kamu tahu. Jangan pernah menghilang, hidupku bisa tumbang. Tanpa hadirnya kamu, bumi kehilangan alasan untuk tampak lebih indah," Gana berhenti sejenak dan memposisikan tubuhnya menghadapku.

"Bintang dan bumi diciptakan untuk saling melengkapi. Bumi gelap, bintang melenyapkan kegelapan itu. Segelap apapun bumi, jikalau bintang ada di sekitar bumi, ia akan tetap indah. Maka, teteplah disini, jangan pergi."

Mataku buram, berkaca-kaca. Aku tak pernah membayangkan aku memilikinya. Aku menemukan kebahagiaanku ada padanya. Aku memeluknya dan ia membalasnya.

"Gana, aku bahagia, sangat bahagia," bersamaan dengan itu, jatuhlah air mata haruku.

"Aku juga, Alea. Aku bahagia memiliki kamu."

"Kamu mau berjanji?"

"Apa, Al?"

Aku melepaskan pelukanku. Aku menatap mata Gana.

"Apapun keadaannya kamu terus bersamaku, tidak akan pernah pergi dari hidupku. Kamu mau berjanji untuk itu?" aku mengacungkan jari kelingkingku.

"I promise you," ucap Gana seraya menautkan jari kelingking kami.

Gana melamun, raganya memang disini, tetapi pikirannya mungkin tidak. Aku bingung dengan sikapnya hari ini. Aku ingin bertanya, tetapi aku terlalu takut mencampuri urusannya.

Gana melepaskan tautan jari kami dengan perlahan. Tak lama kemudian, ia menatapku sambil tersenyum. Kami saling memandang, mata indahnya memancarkan tatapan luka.

Tiba-tiba Gana menunduk, seperti menahan rasa sakit.

"Gana, kamu kenapa?" tanyaku cemas.

Gana menggelengkan kepalanya perlahan. Dia sedikit merintih. Aku semakin cemas melihatnya. Setiap kali aku akan menyentuhnya, ia menepisnya.

Tak berselang lama, ia terdiam. Aku menangkupkan wajahnya. Darah segar mengalir dari hidung mancungnya. Aku terperangah, tak mampu berkata-kata lagi. Otakku sibuk berpikir apa yang terjadi kepadanya. Rasa takut kehilangan mulai menjalar.

"Aku baik-baik saja."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang