Hilang Sadar

19.3K 1.3K 1
                                    

Hari yang cerah, matahari menghangatkan dinginnya bumi. Bel sekolah telah berbunyi lima menit yang lalu. Hari ini adalah hari sabtu, materi pelajaran dikelasku adalah olahraga.

Pak David -guru olahraga- memerintahkan kami berlari mengelilingi lapangan basket sekolah sebanyak 40 putaran. Beliau berkata, 40 putaran termasuk nominal yang sedikit.

Aku berlari dengan teman-teman perempuanku, setelah mencapai 3 putaran, aku merasa lelah dan aku menyuruh mereka untuk berlari terlebih dahulu. Di tengah-tengah lapangan saat aku berlari sendirian, seseorang menyeimbangi langkah kakiku yang tak cukup lebar. Gana, ia tampak sangat tampan dengan keringat yang mengalir di dahi dan lehernya. Sungguh, nikmat Tuhan yang tak terdustakan.

"Selamat pagi, Alea," sapanya.

"Selamat pagi juga, Gana."

"Aku temani kamu."

Aku mengangguk lalu kembali fokus dengan kegiatanku. Aku banyak bercerita dengan Gana tentang acara kemarin, ditambah dengan candaan Gana. Tak terasa, kami telah mencapai putaran ke-13.

"Alea, jangan cepat-cepat."

Aku merasa sesuatu yang aneh dengan Gana, langkah kakiku konstan, tetapi mengapa terlalu cepat untuk Gana?

"Alea, tunggu aku. Jangan cepat-cepat," teriak Gana saat jaraknya semakin jauh denganku.

"Gana, kecepatanku tetap. Ayo, lebih cepat!"

Aku mengurangi kecepatan berlariku. Aku tak mendengar teriakan Gana. Aku menghentikan langkahku, kemudian membalikkan badanku dan mendekatinya.

Gana membukuk dan memegangi lututnya. Ia terlihat sangat lelah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, dia laki-laki, seharusnya dia lebih kuat daripada aku, lalu mengapa ia cepat lelah?

Napasnya tersengal-sengal. Aku tak tega melihatnya. Aku mengajaknya beristirahat.

"Gana, mari beristirahat, sepertinya kamu sangat lelah," ucapku sembari menepuk pundaknya.

Ia tak menggubris ajakanku. Ia masih tetap pada posisinya. Aku melihat sekelilingku, semua murid tengah fokus untuk menyelesaikan putarannya.

"Gana, ayo kita--"

Ucapanku terhenti saat melihat darah menetes disepatu putihnya. Darah itu semakin banyak menetes setiap detiknya. Aku terdiam.

Aku mendorong pundaknya supaya ia berdiri tegak. Wajahnya pucat dan darah menetes dari hidungnya. Aku mendekat, lalu sesegera mungkin aku mengambil sapu tangan dari sakuku kemudian mengelap darah mimisan Gana.

Aku tak bisa berkata apa-apa, kejadian beberapa bulan lalu terjadi lagi. Mataku berkaca-kaca lalu butiran air mata itu meluruh. Dengan berhati-hati aku mengelap dagunya yang dipenuhi darah segar.

"Gana, kamu kenapa?" tanyaku lirih, aku tak sanggup melihatnya seperti ini.

Gana memegang tanganku dan menghentikan aktivitasku membersihkan darahnya. Ia tersenyum, beberapa saat kemudian ia kehilangan keseimbangannya. Aku menyangga tubuh tingginya yang perlahan tumbang. Aku berhasil menangkapnya dan aku jatuh terduduk. Beruntung kepala Gana tidak terbentur karena sekarang kepalanya berada dipangkuanku.

Aku menggoyangkan tubuh Gana, ia kehilangan kesadarannya. Aku berteriak meminta tolong kepada teman-temanku. Dengan langkah cepat mereka mendekat, kemudian mereka membopong Gana dan membawanya ke UKS.

Aku memandangi tanganku yang dipenuhi darah mimisannya, dengan suara bergetar aku berkata, "Fatamorgana, kamu harus bertahan."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang