Dua Hati

16K 1K 58
                                    

Aku menatap sendu cincin yang baru sehari tersemat di jari manisku. Cincin yang melambangkan sebuah hubungan telah terikat kini sepertinya tak berguna lagi. Orang yang memakai cincin serupa telah mendeklarasikan bahwa ia dapat dimiliki yang lain, sepenuhnya.

Aku berada disini, di tempat biasa aku menghabiskan waktu dengannya. Danau. Ingin rasanya aku pergi ke pantai, bukan untuk menenangkan diri, tetapi melakukan hal gila, yakni menenggelamkan diri. Tetapi, hati nuraniku menolaknya.

Aku melangkahkan kaki menuju sebuah rumah pohon di tepi danau. Aku menaiki satu-persatu tangga, lalu akhirnya sampai disana. Yang kulakukan hanya melamun dan memutar berulang-ulang hal apa yang dilakukan Gana kepada Thea. Bodoh sekali, bukan?

Terkadang cinta dapat membodohkan diri sendiri, menutup akal sehat, bahkan mengeruhkan jernihnya pikiran. Hal yang jahat, namun indah bentuknya.

Aku berpikir keras, mengapa aku kabur? Mengapa aku tak memisahkan mereka dan memarahi Gana karena hal gila yang dilakukannya? Mengapa aku membiarkan Thea merasa berbunga-bunga karena mendapat kecupan Gana? Mengapa?

Senja kali ini kunikmati di tempat berbeda, bukan di balkon kamarku. Biarlah semua orang sibuk mencariku, aku tak peduli. Yang aku inginkan hanyalah ketenangan.

Matahari telah sepenuhnya lenyap ditelan malam dan aku masih setia berada disini. Tak berselang lama, aku mendengar suara teriakan seseorang yang tak asing bagiku sedang memanggil namaku. Aku mengintip di jendela, benar saja, Gana mencariku.

"Alea, dimana kamu?"

Aku tak menggubris teriakan Gana. Ada rasa marah tengah menguasaiku.

"Al, aku tahu kamu ada disini. Keluar, Al."

Aku menghembuskan napas kasar, aku memilih menemuinya dengan perasaan bercampur aduk.

Aku menuruni satu-persatu tangga, kemudian berjalan mengikis jarakku dengan Gana. Ia mendekat, aku menghentikan langkahku tepat di depan tubuh jakungnya.

Ia menggenggam tanganku, aku tak menolak. Aku menunduk, aku tak ingin menatap retinanya. Aku menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. Secara tak sadar, aku teringat lagi hal itu. Air mataku menetes dan jatuh tepat di punggung tangan Gana.

"Al, tatap aku."

Aku menggeleng menolak. Tak lama kemudian, ia menarikku ke dalam pelukannya. Satu sisi aku menginginkannya, namun disisi lain, aku ingin berontak karena berulang kali aku tak ingin mendapat perlakuan sama seperti Thea.

"Al, maafkan aku. Mungkin aku tidak bisa menjadi yang terbaik untuk kamu, aku menyakitimu berkali-kali. Aku meminta maaf."

"Kenapa kamu melakukan hal itu kepada Thea?" tanyaku pelan.

"Al, aku--aku," ia memberi jeda pada kalimatnya.

"Refleks," lanjutnya.

"Benarkah?"

"Ma--maafkan aku harus mengatakan ini. A--aku.."

"Aku mencintai kalian berdua, Al."

Aku membelalakkan kedua mataku yang telah digenangi oleh air mata. Aku melepaskan diri dari pelukannya, lalu memberanikan diri untuk menatapnya.

"Mencintai aku dan Thea? Gana, kamu bercanda, bukan?" aku tersenyum pahit, berusaha menyembunyikan hati yang telah hancur lebur.

"Tidak, Al. Aku tidak bercanda. Maafkan aku."

"Ga--Gana, kamu jahat. Kamu benar-benar membagi segalanya, termasuk perasaan kamu yang seharusnya hanya untukku."

Ia terdiam, bibirnya tak dapat mengucapkan sepatah katapun.

"Lalu, untuk apa kita berdua mengikat hubungan yang di dalamnya terdapat tiga hati sekaligus? Untuk apa?"

"Aku tidak bisa menyangkal perasaanku, Alea. Aku mencintai kalian berdua, aku tidak dapat memilih salah satu dari kalian. Aku memutuskan untuk membagi hatiku, untuk kalian berdua."

Aku terisak, aku merasa Tuhan tengah mengujiku saat ini. Hanya tersisa dua pilihan, melanjutkan cinta yang telah terbagi ini atau melepaskannya untuk memiliki yang lain.

"Gana, pada hakikatnya, tidak ada seorangpun wanita di dunia ini rela cintanya terbagi dua. Tidak ada. Seandainya kamu menjadi aku, kamu akan merasakan hal yang sama. Aku meminta satu hal kepadamu, aku berjanji tidak akan meminta apapun lagi apabila kamu mengabulkannya. Bunuh perasaanmu kepada Thea, Gana. Aku mohon," ucapku sembari menangis tersedu-sedu.

"Maaf, Al. Aku tidak bisa menyakitinya dengan permohonanmu itu."

Apa kamu sadar, Gana. Kamu menyakitiku, batinku berteriak pilu.

"Aku tidak bisa mematikan perasaan ini begitu saja. Perasaan ini pemberian Tuhan, perasaan ini kehendak Tuhan, Alea."

"Tetapi karena perasaan itu pula, kamu menghancurkanku, Gana."

"Maafkan aku, Alea. Aku merasa bodoh membiarkan rasa itu bertambah setiap harinya," ia menghembuskan napasnya, kemudian berkata lagi.

"Yakinlah, Tuhan tengah mempersiapkan ketetapan terindahnya untuk kita."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang