Filantropi Fatamorgana

23.2K 1.7K 9
                                    

Siang ini, sepulang sekolah, aku memberanikan diri mendatanginya. Aku kehilangan kesabaran karena sikapnya. Dengan emosi meluap-luap, aku menaiki satu-persatu anak tangga menuju rooftop, tempat biasa ia mengasingkan diri.

Aku menggenggam tanganku, aku tak akan pernah sanggup dijauhi olehnya. Sepucuk keberanian ini mengantarkanku datang kepadanya. Aku tak mengapa mendapat cacian, aku akan bangga dengan itu. Aku hanya ingin mengungkapkan segala yang kurasakan beberapa bulan terakhir ini.

Aku telah memijakkan kakiku disini, di tempat yang sama dengan keberadaannya sekarang. Ku langkahkan kakiku mendekatinya. Ia tengah membelakangiku sekarang, sepertinya ia tak sadar akan kehadiranku.

Aku menghentikan langkahku, tepat tiga langkah di belakangnya. Aku menyemangati diriku sendiri. Keberanian yang semula menggebu-gebu sekarang padam. Pikiranku menolak untuk mengatakan perasaanku, namun hatiku tak pernah setuju.

"Fatamorgana," aku memanggilnya lirih. Ia memutar tubuhnya, bersamaan dengan itu, ia melayangkan tatapan kosongnya.

"Ada apa?"

"Aku--aku lelah, Gana."

"Lelah?"

Aku memberi jeda untuk jawabanku, sesungguhnya aku tak benar-benar ingin mengatakannya. Aku takut ia semakin menjauhiku. Aku terlanjur mencintainya, aku tak akan rela jika ia pergi dari hidupku.

"Aku lelah dengan sikapmu, Gana. Kamu menjauhiku, kamu tak ingin aku mengetahui apa masalahmu, kamu tak ingin aku menatap mata indahmu lagi. Aku lelah. Jika aku membuat kesalahan, aku mohon dengan sangat, kamu ungkapkan saja, luapkan, jangan malah menjauh. Menjauh itu tidak menyelesaikan masalah ini, tetapi mungkin akan menyelesaikan hubungan kita."

Demi apapun, aku tak mampu menahannya lagi. Buliran air mataku telah membasahi pipiku. Aku terisak, sangat memilukan. Gana hanya terdiam, sama sekali tak menggubris luapan emosiku padanya.

"Sudah cukup, Gana. Cukup! Aku muak, kamu bahkan tidak memikirkan perasaanku," aku meluruh, hidupku seperti tak berarti tanpa kasih sayangnya.

"Aku sakit hati, Al. Aku tidak bisa menerima kenyataan hidupku. Maaf, aku tidak bisa memberi tahumu sekarang," Gana menjawabnya dengan suara bergetar.

"Kamu terlalu sibuk memikirkan cara supaya kamu tidak sakit hati lagi. Kamu lupa, kamu mengorbankan perasaanku."

"Al."

"Sudah, cukup. Aku tak mau mendengarnya lagi. Sudah cukup aku merasa terbuang. Dan aku tidak akan terjebak lagi."

Aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Hati dan egoku tengah berperang, aku ingin mengakhiri segalanya, tetapi aku tak mampu mengungkapkannya.

"Kamu punya wanita lain?"

Aku memberanikan diri menatap matanya. Sebuah tamparan keras melayang di pipiku, membuatku terhuyung lalu terjatuh. Hatiku hancur lebur. Ini kali pertama ia menamparku. Ku pegang pipi kiriku yang baru saja ditamparnya.

"Jaga ucapan kamu, Aleasha!" teriaknya disertai emosinya. Ia terdiam sebentar.

"Aku tidak seperti itu. Aku menjauh bukan karena aku melakukan hal sebodoh itu, aku punya alasan lain."

Aku semakin terisak, untuk bangkitpun aku tak mempunyai kekuatan. Aku lemah, lemah karena orang yang aku cintai. Bukan menjadi hal mudah untukku menerima tamparan darinya. Aku mengaku keterlaluan menuduhnya seperti itu, akal sehatku tak bisa menerima perlakuannya selama ini.

"Aku ingin berkata jujur kepada kamu. Aku membenci sikap kamu sekarang, Gana. Kamu tidak seperti yang dulu. Kalaupun kejujuran yang membuat hubungan ini berhenti, tidak masalah. Daripada hidup kita dipenuhi tanda tanya. Aku pergi, aku berjanji tidak akan mengganggu hidupmu lagi."

Aku bangkit, aku telah berjanji kepada diriku sendiri. Aku akan melepaskannya jika itu terbaik untuknya.

Aku melangkahkan kakiku, separuh hidupku rasanya menghilang. Keputusanku untuk melepasnya telah bulat. Aku tak ingin lagi menjadi parasit dalam hidupnya.

Baru saja kemarin aku merasakan cinta, hari ini aku terluka. Terluka karena cinta yang selama ini kujaga. Aku tak mempermasalahkan ia akan membenciku, aku akan tetap mencintainya, sampai kapanpun.

"Kalaupun dengan melepasmu adalah yang terbaik, pergilah. Jangan pernah sesekali melihatku lagi. Melangkahlah, temukan yang baik untukmu," ucapku sambil menyeka air mataku, lalu melanjutkan langkahku.

Beberapa langkah aku menjauh darinya, aku terhenti. Aku tak percaya ia akan mencegahku.

"Maafkan aku, Alea. Aku terlalu egois. Maaf. Aku tidak akan pergi kemana-mana, kamu juga tidak boleh pergi kemana-mana. Bumi akan kehilangan alasan untuk tampak lebih indah."

Aku terdiam, aku tak mampu menyembunyikan senyuman bahagia. Aku merasa hidupku kembali seperti semula. Ya, semoga saja.

"Aku mencintaimu, Alea."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang