Eksplisit

20.5K 1.1K 23
                                    

Sepulang dari pemakaman, aku meminta izin kepada mama dan papa untuk pergi ke rumah Gana. Mereka mengizinkanku. Aku bergegas menuju kesana.

Aku masuk ke dalam rumahnya dan segera menemui mama Gana yang tengah melamun di halaman belakang rumah. Aku menghampiri beliau.

"Bunda."

Beliau mengacuhkan panggilanku.

"Bunda sudah berjanji kepada Gana untuk tidak bersedih."

Bunda menatapku, kemudian menghembuskan napas perlahan. Beliau tersenyum meskipun dipaksakan.

"Iya, Bunda tidak bersedih."

Aku terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk pertanyaanku.

"Bunda, sebenarnya Gana sakit apa?"

Bunda tersentak, air matanya menggenang. "Leukimia. Penyakit itu mulai terdeteksi sebelum dia mengenal kamu. Waktu itu, dia menjauhimu karena penyakitnya."

"La-lalu?"

"Enam bulan lalu, saat kamu sudah pergi dari Indonesia, Thea menghancurkan Gana. Dia meninggalkan Gana setelah Gana menyakitimu dan membuatmu pergi. Gadis itu mencampakkan Gana begitu saja. Setiap hari, Gana murung dan berkata kepada Bunda bahwa dia ingin menemuimu untuk meminta maaf. Tetapi sayang, saat itu juga, orang tua kamu tidak memberitahunya karena mereka terlanjur membenci perlakuan Gana kepada kamu."

"Jadi, penyakitnya semakin parah beberapa bulan ini?"

"Iya, seperti itulah nyatanya. Dia tak mau di rawat di rumah sakit. Ia kukuh menunggu kamu pulang," air mata bunda jatuh.

"Maafkan Alea, Bunda. Karena Alea, Gana pergi," aku menunduk, merasa sangat bersalah.

"Tidak, ini semua bukan kesalahan kamu. Tuhan sudah mengaturnya. Gana mampu bertahan karena kamu. Justru, Bunda berterimakasih kepada kamu karena membuat Gana bertahan lebih lama."

Bunda memegang pipiku, membuatku mendongak. Beliau tersenyum, kali ini nampak lebih tulus.

"Pergilah ke kamar Gana. Kemarin, dia meminta papanya untuk membuatmu mendatangi kamarnya karena dia merindukan kamu."

Aku tersenyum, kemudian bangkit dan melangkahkan kakiku menuju kesana. Aku sempat mengira Gana jahat, dugaanku ternyata salah. Perasaannya pun tak pernah lenyap. Benar, ia hanya tersesat oleh bujuk rayu Thea.

Sampailah aku di kamar yang cukup luas ini. Aku melihat bayanganku dan Gana bermain PS dan tertawa bersama. Aku tersenyum sebelum bayangan tersebut menghilang.

Aku menyusuri rak buku yang tertata rapi, kemudian berjalan menuju meja belajarnya di dekat jendela menuju balkon. Jemariku menyentuh bingkai fotoku dengannya saat masih bertunangan. Ia tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Aku tertawa kecil mengingat hari bahagia itu.

Aku meletakkan foto itu. Jemariku bergerak lagi menatap sebuah kotak berukuran sedang berwarna hitam. Aku membukanya dan mengambil sebuah cincin pertunangan yang biasanya melekat di jari manisnya. Aku meletakkannya lagi, kemudian mengambil salah satu foto polaroid yang memperlihatkan Gana dan aku membelakangi kamera sambil menatap senja. Foto itu tak hanya satu, dalam satu kotak, terdapat puluhan foto berukuran kecil dan dengan kenangan berbeda yang berhasil diabadikan selama aku bersamanya. Saat aku meletakkan foto-foto tersebut, mataku menatap secarik kertas yang sepertinya adalah sebuah surat. Aku mengambilnya kemudian membawanya ke balkon, dan membacanya disana.

Amplop surat itu bertuliskan empat kata: Titip Rindu untuk Senjaku.

Aku membaca surat tersebut dengan perasaan bercampur. Dadaku sesak seiring kata perkata mulai kubaca. Air mataku meluruh menemaniku membaca tulisan tangan seseorang yang beberapa jam lalu meninggalkanku untuk selamanya. Aku bersyukur datang kemari disaat yang tepat. Seandainya terlambat, aku akan sangat menyesal tak menemaninya di saat-saat terakhirnya.

Hari ini, ia telah tak bernafas. Ia telah terlelap damai. Hanya raganya yang pergi, namun kenangan tentang kami tak pernah pergi kemana-mana. Namanya, wajahnya, dan suaranya tak akan pernah kulupakan, selamanya.

"Belum sehari kamu pergi. Ya, pergimu tak akan pernah kembali. Sebelumnya aku mengucapkan banyak terimakasih untukmu yang telah mengisi hari-hari yang terkadang membosankan ini. Tidurlah yang nyenyak, mimpi indah. Meskipun ragamu tak lagi di sekitarku, aku yakin kamu tak akan kemana-mana. Aku berjanji tak akan pernah melupakanmu. Hadirmu pernah memberikan warna-warna indah, hidupku tak lagi gundah. Senyum indahmu akan selalu terukir dalam sanubari. Tatapan teduhmu akan selalu ku rindu. Terimakasih sekali lagi, kamu telah memberiku banyak pelajaran tentang indahnya kehidupan dengan senyuman. Kamu adalah manusia yang tak pernah bosan untuk tersenyum, bagaimanapun, serumit apapun. Namamu akan menjadi nama paling indah untukku. Akan kusimpan dalam hati, sampai aku mati. Sekali lagi, tidurlah dengan nyenyak. Kamu tak akan merasakan lagi rasa sakit. Tidurlah dengan damai. Aku menyayangimu, doaku selalu menyertaimu."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang