Terampas

15.9K 1K 31
                                    

Kaca toilet memantulkan bayangan wajahku. Berantakan. Ya, aku bingung dengan perasaanku sendiri. Gana tak pernah seperti itu sebelumnya. Saat ia menjadi murid baru, banyak yang ingin berkenalan dengannya. Terlebih kaum hawa. Dan sikapnya terlampau biasa saja.

Melihatnya tadi, efeknya sungguh luar biasa. Aku tahu, mungkin banyak yang menganggapku remeh. Terkesan berdrama, berlebihan, dan apalah itu, aku tak pernah peduli. Yang ada sekarang hanyalah rasa sakit yang berlebih. Biarlah mereka menganggapku begitu, mereka tak pernah tahu bagaimana perasaanku.

Aku menghapus air mataku. Aku tak sanggup berbicara sepatah katapun, terlalu lama aku menangis. Seperempat jam aku berada disini. Aku membasuh mukaku, aku merasa sudah tenang, namun masih sesenggukan. Beberapa menit aku terdiam, setelah kurasa aku sangat tenang, aku melangkahkan kaki menuju kelas.

Aku mengetuk pintu kelas, semua mata menuju padaku. Aku tak mempedulikannya. Bu Fatimah mempersilakanku masuk. Akupun mengangguk dan berjalan menuju bangkuku, tanpa menatap Gana. Aku tahu ia memperhatikanku, namun sudahlah, aku tak ingin ia merasa bersalah.

Pelajaran berlangsung, aku mencoba memforsir fokusku terhadap materi yang diberikan Bu Fatimah.

"Al," panggil Aruna sambil menyikut lenganku.

Aku hanya berdehem.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" bisiknya.

Aku tersenyum dan menggeleng.

"Baiklah, kalau kamu punya masalah, cerita saja padaku. Aku siap menjadi pendengar sekaligus tempat curhatmu."

"Terima kasih."

Aruna mengangguk lalu kembali fokus dengan papan tulis. Aku benar-benar tak bisa fokus, aku mencoba mengalihkan fokusku. Aku mencoret-coret bagian belakang buku tulis, tidak berguna memang, tetapi setidaknya mampu mengisi waktu bosanku.

Tak sedikit waktu yang terbuang karena aku melamun. Saat sedang asyik dengan pikiranku, Aruna menjentikkan jarinya. Aku tersentak, lalu menatapnya. Aku menatapnya yang tengah memandangku sembari tersenyum kecut.

"Eh, ke-kenapa, Aruna?" tanyaku tergagap.

"Kamu tidak dengar aku memanggilmu dari tadi?"

"Emm, anu,"

Aruna menghembuskan nafasnya.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Lagipula, siapa yang tidak jatuh cinta kepada Gana saat pertama kali menatapnya?"

Aku mencubitnya dan ia mengaduh kesakitan.

"Aruna, Alea, kamu tidak dengar apa yang saya ucapkan tadi?" tanya Bu Fatimah dengan suara meninggi.

Aku dan Aruna saling bertatapan, lalu kami menunduk.

"Maafkan kami, Bu. Kami mengaku bersalah, jika ibu memerintahkan kami untuk berjemur di lapangan, tidak apa-apa, Bu," ucapku merasa bersalah.

"Sudah, sudah. Saya maafkan, sekarang dengarkan ibu. Ibu memberi tugas seperti yang sudah ibu tuliskan di papan tulis. Tugas tersebut dikerjakan secara berkelompok dan kalian berkelompok dengan Gana dan Thea. Paham?"

Aku terdiam, mencoba mencerna kalimat yang diucapkan Bu Fatimah.

"Paham?"

"Pa-paham, Bu."

"Baik, silakan kalian semua berkumpul dengan kelompok masing-masing. Tata meja kalian menjadi kubu."

"Baik, Bu."

Aku melangkahkan kaki menuju Gana, ia telah selesai menata bangku. Ia merubahnya menjadi dua bangku yang saling berhadapan. Sesaat sebelum aku menduduki kursi di samping Gana, Thea telah mendahuluiku. Aku terdiam di tempat, tak lama kemudian, Aruna menarikku dan menyuruhku duduk berhadapan dengan Gana. Akupun menurutinya dengan rasa hampa.

Aku terdiam dan menunduk, mencoba menetralkan gejolak didadaku.

"Gana, saat jam istirahat nanti, ajak aku berkeliling sekolah ini, ya?" ucap Thea.

"Hm, ba-baiklah. Alea, nanti temani aku, ya?"

Belum sempat aku menjawabnya, Thea memotongnya.

"Tidak, tidak. Berdua saja."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang