Siasat

14.9K 894 5
                                    

"Aleasha dan Althea, kalian berdua adalah tim terakhir. Dalam kegiatan kali ini, semua siswa harus berlomba mencapai pos terakhir secepatnya. Ikuti tanda yang telah panitia siapkan. Jangan sampai tersesat, ketelitian kalian akan sangat diuji. Apabila terjadi sesuatu, hubungi saya atau teman kalian melalui handy talky. Mengerti?"

"Mengerti, Pak," jawab semua murid serempak.

Aku menggerutu dalam hati. Panitia telah membagi kelompok lomba dan nahasnya aku berkelompok dengan gadis itu. Ingin sekali aku menolak, tetapi tak ada yang dapat kulakukan karena panitia tidak menerima penolakan. Tentu saja, kemungkinan ke depan saat aku bekerja sama dengan Thea adalah kegagalan. Saat ini juga, aku mengklaim hari ini adalah hari paling buruk dalam sejarahku bersekolah.

Perlombaan dimulai. Aku berjalan gontai - tak bersemangat. Biarlah timku kalah, aku tak peduli. Jarak kami -aku dan Thea- terlampau jauh dengan tim lain, pun dengan area camping. Ketika aku hendak berbelok kiri mengikuti tanda yang tertera, Thea menarikku dan membawaku ke arah kanan. Aku merasa takut tersesat.

Thea terus masuk ke dalam hutan yang mulai asing dan terpencil. Aku mulai pasrah karena aku tak mengetahui jalan pulang.

"Lepas, Thea, lepas!" sentakku sembari melepaskan genggaman tangan Thea di lenganku.

"Kenapa? Takut?" tanyanya dengan sinis.

"Lo berpura-pura bodoh atau memang bodoh? Kita salah arah," ucapku dengan nada meninggi.

Thea tersenyum licik padaku. Aku mengambil handy talkyku dan berniat untuk menghubungi panitia, namun Thea merebutnya dariku. Thea melempar benda hitam itu ke arah pohon, alhasil handy talky milikku hancur dan tak dapat dipergunakan lagi.

"Thea!"

"Sttt! Diam! Jangan banyak bicara. Tutup mulut lo itu Aleasha!" teriaknya sambil mencengkeram rahangku kuat-kuat membuatku merintih kesakitan.

Aku mencoba melepaskan cengkeramannya, namun gagal. Thea mendorongku hingga terjatuh.

Aku memekik, tak lama kemudian, Thea menjambak rambutku membuatku mendongak.

"Lo harus bayar kerugian papa gue!" ucap Thea sambil menekan setiap kalimatnya.

Aku heran, kerugian apa yang dimaksud Thea? Mengapa berhubungan dengan papanya?

"Papa gue dahulu adalah pimpinan kantor yang bokap lo pimpin saat ini. Suatu hari, papa gue diturunkan jabatannya karena ketahuan melakukan penggelapan uang kantor," ucap Thea tertahan.

"Bokap lo bocorin segalanya dan pada akhirnya papa gue diPHK dan papa gue tidak bisa bekerja dimanapun lagi," tambah Thea sembari berteriak.

Thea tertawa kemudian bercerita kembali, "Mulai hari itu, papa gue kehilangan segala aset kekayaannya dan mengharuskan gue sekeluarga pindah ke Bandung dan menjadi miskin. Semua ini gara-gara bokap lo!" Thea melepas tangannya dari rambutku kemudian menjauh dan menangis histeris.

Aku mendekatinya kemudian mencoba menenangkannya, "Thea, sadar. Papa lo berbuat kesalahan fatal. Semua ini bukan sepenuhnya salah papa gue."

"Ini salah bokap lo, Aleasha Senja!"

Thea menghapus air matanya dan menatapku, "Sekarang, gue akan membalaskan dendam keluarga gue kepada lo, sekalipun lo nggak terlibat saat itu. Gue akan menghancurkan hubungan lo dan Gana, hari ini semua cerita indah kalian akan hancur tanpa tersisa. Gana akan menjauhi lo dan membenci lo selamanya," ucap Thea sembari tertawa. Aku meyakini bahwa ia sangat depresi saat ini.

Aku meneguk ludahku, dadaku bergemuruh. Aku mulai tak tahan, boleh saja ia membenciku, namun tidak harus seperti ini pembalasannya.

Aku mendekatinya kemudian mengacungkan jari telunjukku tepat dihadapan wajahnya.

"Jangan coba-coba menghancurkan hubungan gue dengan Gana atau lo bakalan menerima hal yang tidak terduga dari gue!"

"Lo pikir gue takut dengan ancaman lo itu? Enggak, sama sekali gue nggak takut. Lo bodoh Alea, Gana itu sudah masuk ke dalam jebakan gue. Kalian sama-sama bodoh. Sekarang, nikmati drama gue untuk menghancurkan hidup lo!"

Aku menamparnya keras. Ia terhuyung kemudian berhasil menyeimbangkan tubuhnya lagi.

"Sini, tampar gue lagi!" ucap Thea sambil menunjuk pipinya.

Aku hendak menamparnya, namun urung karena aku tak mau menyakiti batin dan fisiknya. Thea menjauh dariku kemudian mengambil sebuah benda di sakunya, yakni pisau.

Ia menarik tanganku untuk menggenggam benda tajam itu, sementara ia menuntunku mendaratkan ujung pisau itu di pipinya. Aku menarik tanganku untuk menghindari hal gila yang dilakukannya, namun gagal, aku malah melukai pipi kirinya tanpa sengaja. Thea mendesis menahan perih. Aku menatapnya tak percaya, lehernya telah basah dengan darah yang mengucur deras dari pipinya. Thea melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, kemudian beralih memegang pipinya. Aku menatapnya, ia tersenyum simpul padaku dan berkata, "Drama dimulai."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang