Kebencian

15.3K 958 59
                                    

"Rasakan pembalasanku," bisik Thea di telingaku. Setelah ia mengucapkannya, ia berlari. Aku mengikutinya sambil menggenggam pisau yang diberikan Thea tadi. Aku berusaha mencegahnya, namun ia berlari amat kencang membuatku tak dapat mengikutinya. Aku terus mengejarnya, aku khawatir dengan keadaannya yang tengah berlumuran darah.

Aku mendengarnya berteriak sambil menangis dan memanggil nama Gana. Aku mempercepat langkahku dan pada akhirnya, aku berhasil mengejar Thea.

"Gana, tolong," teriak lirih Thea dengan mendesis dan menangis sesenggukan.

"Thea, berhenti!" perintahku padanya. Namun, ia mengabaikanku.

"Gana," teriaknya lagi.

Thea telah berada di depan Gana dan segera memeluk Gana. Tangannya tak lepas dari pipinya yang berdarah.

Aku menghentikan lariku tepat dihadapan Gana. Gana menatap Thea cemas.

"Thea, kenapa kamu seperti ini? Ada apa? Mengapa bajumu berlumuran darah?" tanya Gana bertubi-tubi dengan raut wajah khawatir.

"Al-Alea mencoba membunuhku, ia bilang, ia tak suka denganku. Lihat, dia membawa pisau. Untung aku dapat melepaskan diri dari gadis psikopat itu," jelas Thea dan tetap menangis.

Aku membelalakkan mataku, Thea berbohong. Ia mengarang ceritanya.

"Ti-tidak, tidak seperti itu. Jangan berbohong, Althea!" teriakku.

"Lihat dia, dia sangat berambisi untuk membunuhku."

Aku menatap Thea tak percaya, ia benar-benar berniat membuat Gana membenciku dengan cerita karangannya.

"Dia berbohong, Gana. Ia menjebakku," ucapku menjelaskan.

Gana menatapku dan Thea bergantian. Aku menatap Thea yang tersenyum sinis, kemudian badannya melemas dan aku tahu, ia berpura-pura tak sadarkan diri.

"Thea, bangun," ucap Gana sembari menggoyangkan badan Thea dipelukannya. Namun, Thea tak membuka matanya. Gana segera membopongnya dan membawanya ke posko kesehatan di area camping yang tak jauh dari lokasi kami. Aku mengikuti langkahnya. Tak lama, seseorang memanggilku.

"Alea,"

Aku menoleh ke sumber suara. Aldo berada di belakangku.

"Aldo, mengapa kamu disini? Bukankah seharusnya kamu bersama Gana?"

"A-aku, aku ada urusan tadi," balasnya cepat.

"Baiklah, aku permisi," pamitku.

Aku berlari meninggalkannya dan menuju posko. Aku memasuki posko dan mendekati Gana yang tengah cemas dengan keadaan Thea.

"Gana," panggilku sambil menyentuh bahunya.

Aku tersentak saat ia menepis kasar tanganku dari bahunya. Ia berdiri, kemudian menarikku keluar dari posko.

"Gana, lepaskan. Sakit."

Ia menarikku agak jauh dari posko. Ia melepasku. Aku menatapnya.

"Tatapan itu berbeda, bukan lagi tatapan rindu. Tatapan benci yang pertama kali setajam itu. Aku takut, tatapan itu perlahan mengoyak hatiku. Merobeknya, lalu menghancurkannya," batinku.

"Kenapa lo lakukan hal serendah ini, Al? Kenapa?" tanyanya dengan nada menyentak.

Aku menunduk, takut dengan tatapannya. Hatiku terasa sakit saat ia bertanya padaku dengan bahasa yang berbeda; Kasar.

"Jawab!"

"A-aku," ucapku terpotong.

"Gue tahu, lo nggak suka Thea, terlebih hubungan gue sama dia. Tetapi, nggak seharusnya lo begini, bodoh" ucap Gana meledak-ledak.

Aku menatap Gana dengan mata dan hati memanas. Ucapannya telah melukai hatiku secara langsung. Setetes air jatuh dari kelopak mataku.

"Ka-kamu menyebutku bodoh?" tanyaku lirih.

"Iya, kenapa? Lo nggak terima disebut bodoh?" tanyanya sambil tersenyum miring.

"Gana, Thea itu bukan wanita baik untukmu, percayalah. Dia menjebakmu, dia ingin menghancurkan hubungan kita untuk balas dendam."

Gana mendekat, kemudian mencengkeram bahuku dan mendorongku. Punggungku menabrak pohon besar dibelakangku. Aku tersungkur karena merasakan sakit yang luar biasa.

Setega inikah?

Aku meringis kesakitan. Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Memang benar, fisikku terluka, namun lukanya tak sebanding dengan luka hatiku.

Belum habis rasa sakit di tubuhku, ia menarik rambutku. Wajahku telah dibasahi air mata. Aku pasrah dengan apapun yang akan dilakukannya. Apapun perlakuannya padaku, baik atau buruk, aku akan menerimanya sepenuh hati supaya ia merasakan lega dan bahagia.

Gana mendorong bahuku membuatku duduk bersandar di pohon. Ia mencengkeram kuat rahangku dengan tangan kirinya. Ia menatapku tajam dan menghela nafas kasar. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia mengepalkan tangan kanannya kemudian melayangkannya ke arah pipiku. Aku memejamkan mataku takut. Namun, beberapa detik kemudian aku tak merasakan sakit sama sekali. Aku membuka mataku perlahan.

Wajah Gana berada tepat didepan wajahku. Aku menoleh ragu ke arah kiri, Gana meninju pohon hingga tangannya bercucuran darah. Aku menatap matanya lagi dengan tatapan sendu.

"Lo memang brengsek, Al. Tapi gue masih punya hati nurani. Lo wanita dan nggak sepantasnya gue tinju muka cantik lo," ucapnya menggantung.

"Karena seharusnya yang gue tinju adalah hati busuk lo."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang