Kejadian Dapur

1K 156 14
                                    

Karena Salju yang tiba-tiba turun ketika Bokuto berencana untuk mengajak main kelar melihat lampu kota yang sudah dipasang karena Natal segera tiba, disinilah kami sekarang.

Dimana lagi? Tentu saja dirumah.

Lagian sebagai bocah ter-mager  (malas gerak) dimuka bumi, pilihan leyeh-leyeh lebih terdengar menggiurkan dibanding jalan-jalan sore sehabis kerja. Tapi kalau sama Bokuto ya nggak masalah sih, nggak keberatan juga. Hehe.

"Na-chan, bisa minta tolong ambilkan lada di rak makanan?" Bokuto terlihat unyu dengan menggunakan celemek warna biru miliknya sedangkan aku menggukan yang warna pink. Unyu banget deh, celemek saja couple-an. Ih unyu, kan?

Aku langsung memberikan padanya dengan sigap, "Siap kapten!" lalu tertawa didepan wajahnya.

"Terimakasih, sayang!"

Ciye, aku dipanggil sayang dong sama Bokuto. Ciye dipanggil sayang. Ih jadi makin sayang.

Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri, rasanya yang seperti ini adalah pernikahan idamanku sekali dimasa depan. Tinggal di apartemen kecil namun menyenangkan dengan 'partner menikah' yang menjadikanmu segalanya.

Oh, ayolah aku terbawa suasana. Ini kan hanya memasak.

Bokuto yang sedang menumis bawang bombay pun teralihkan padaku, wajah polos dengan cekatan memasak itu, aduh aku rasa aku kolep, masih konslet karena belum terbiasa, "Kenapa, ada yang salah?"

Aku menggeleng sambil tersenyum, persis seperti anak kecil yang terpergok ibunya memakan permen sebelum tidur.

"Ah, maaf ya, kita tidak jadi liat pohon natal di tengah kota." Ia sudah terfokus lagi pada masakannya.

"Aku juga minta maaf."

"Eh, kenapa?"

Aku sedikit menyesal mengatakannya, "Habis malah Bobo yang yang masak, bukannya aku. Padahal kan aku--"

"Kita kan masak berdua, Na-chan." Bokuto memotong kalimatku dengan mengulurkan tangannya untuk mengacak rambutmu dengan senyum paling menyenangkan yang pernah kulihat, "Aku minta backhug, boleh?"

Gara-gara suamiku yang baka ini, aku ingin ngakak karena wajah genitnya, "Nggak boleh." Aku pura-pura tegas.

"Yaaah, penonton kecewa ini."

"Siapa penontonnya?" aku menengglengkan kepala untuk merecoki acara memasaknya.

"Aku." Pemuda yang rambutnya melawan gravitasi ini menunjuk dirinya sendiri, "eh, Na-chan ku mau minta tolong piring kotak."

Dan obrolan kami terhenti karena sekilas iklan dan aku segera kembali dengan piring kotak sesuai permintaannya.

"Boleh minta wajahmu kemarikan?" Bokuto melihatku seakan ada yang salah dengan muka jelek ini. Iye gua tahu gua jelek kagak usah begitu juga ngeliatnya woi.

"Kenapa? Ada kotoran?"

"Sinikan mukamu."

Aku menurut, aku mendekatkan wajahku padanya, ini antara memang dia menemukan jerawat yang baru tumbuh atau memang mau mengerjai. Yang manapun, aku sebenarnya tak terlalu peduli.

"Agak sinikan lagi." Masih saja ini bocah maunya apaan kali.

Sekarang wajah kami berhadapan, aku dapat merasakan hangat napasnya yang berhembus lembut, lalu tersenyum. Kamu pasti tahu kan apa yang akan dia lakukan?

Ia mendaratkan bibirnya pelan, dan aku dapat merasakannya didalamku. Didalam mulutku. Benar-benar laki-laki nakal! Untung nakalnya sama aku!

Ia melepas cium itu tapi tidak menjauhkan wajahnya dariku, sama sekali. Ada sisa rasa saus tiram terasa dimulutku, pasti karena tadi ia mencicipi sendiri masakannya. Bokuto malah tersenyum menang. Aku sudah pernah bilang kalau dia itu sialan belum sih? Kalau belum, maka, akan aku katakan, Bokuto sialan.

"Apa?" hanya satu kata itu yang berhasil lolos keluar menjadi kata dari suaraku.

Ia sudah terseyum, "Aku akan beritau Na-chan satu hal. Yang mungkin sudah kukatakan berkali-kali tapi Na-chan nggak akan ngerti."

Bokuto mengecup keningku, dengan durasi yang lumayan lama. Seakan proses charger kasih sayang dari ritual itu, "Aku sayang Na-chan." Bisiknya, tepat ditelingaku. Ia merunduk.

Bahkan aku yang sudah beberapa kali mendengarnya semenjak terbangun menjadi 'istrinya', tapi sensasi yang tercipta dari satu kalimat itu masih mendebarkan seperti saat aku pertama kali mendengarnya--atau malah bertambah semenjak saat itu.

Menikah dengan orang seluar biasa dia, aku ingin segera melakukannya jika besok aku terbangun dari tidur dengan ilusi terbaik yang pernah kualami ini.

Karena Bokuto itu adalah lambang rasa senangku sekarang, aku menelungkupkan kedua tanganku di pipinya, aku merasakan pipi halus yang kasar karena janggutnya baru tumbuh kecil-kecil, mungkin harus kuingatkan untuk cukur nanti, "Aku tahu itu,"

Aku sayang Na-chan.

"Di dunia ini, hanya aku yang paling mengerti itu, Bobo-chan." Aku membisikinya, dalam.

Dan kalimat itu seakan sudah tertanam jauh didalam pikiranku, satu kalimat dengan suara Bokuto,

Aku sayang Na-chan.

.

.

.

Note :

Belakangan ini agak merasa nggak bisa tulis, jad di otak ide sudah membeludak ini, tapi pas buka note di handphone, atau buka notepad di laptop buat ngetik lanjutan ff, pas coba, nggak nge feel gitu. Apa faktor eneg revisi tugas kuliah ya? Hehe. Maaf ya. Terimakasih teteap membaca, mona sayang kalian :D

[Publish 12 Desember 2018, revisi 03 Mei 2019]

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang