Punya Anak (?)

725 110 24
                                    

Tadinya Aku ingin hanya menatap Bokuto sarapan, tapi karena suasana canggung akibat permintaan gila orang sakit seperti 'ingin punya anak' membuatku ikut makan bubur dan sup ayam yang tadi ku masak, enak juga. Kalau ingin masakan yang kita buat memang bisa seenak ini.

"Na-chanー" Bokuto memanggil namaku disela acara sarapannya yang belum selesai dikunyah, bubur memang tidak di design untuk dikunyah sih, by the way.

Aku segera menolak apa pun itu yang ingin Bokuto katakan, "Pokoknya enggak."

"Eh, memang apaan??"

"Apaan memang?" aku balik lagi pertanyaan pemuda yang sedang demam ini.

Bokuto menghela napas, ia menaruh sendoknya dan bersandar di kursinya, "Apasalahnya punya anak, sih? Kita kan sudah menikah."

"Habiskan makananmu." Sengaja tak aku gubris kalimatnya.

Ia menurut, ia kembali mengambil sendoknya dan mulai menyuap beberapa bubur ke dalam mulutnya, "Punya anak kanー"

"Bokuto," aku sengaja tidak memanggil dengan nama panggilan kesayangan itu, aku ingin tahu kalau aku sedang bereaksi marah padanya, "Kenapa kamu memilih menikahiku?"

Ganti Bokuto yang memanyunkan bibir, "Ayolah, Na-chan. Tentu saja karena sayang."

"Kamu bilang, kamu tahu betul kenapa aku menolak nikah muda, kan? Dan kenapa sekarang aku malah nikah muda, kamu tahu betul alasannya, kan?"

Bokuto kalah, ia tidak menjawab pertanyaan penuh retorikaku dan memilih memakan buburnya tanpa berisik, aku tahu dia sedang merajuk sekarang. Aku tahu.

"Aku masih anak kecil, bobo-chan juga sama. Kalau kita punya anak, jadi ada tiga anak kecil dirumah ini, siapa yang mengurusi coba?" aku memberikan argumen masuk akal.

"Tapi sepertinya aku bisa jadi ayah yang baik." Cicit Bokuto.

"Sepertinya." Aku menggaris bawahi kata itu dengan suara yang dieja. Menyindir.

Ia menghabiskan makanannya, lalu melipat tangan dan menatapku dengan mulut manyun, "Kalau begitu ayo lakukan lagi."

Aku menaikkan sebelah alis, "Lakukan apa?"

Ia memejamkan matanya kesal karena tidak sanggup menjelaskan, "Melakukan itu. Pokoknya itu."

MELAKUKAN APA, BANGSAT JANGAN BIKIN GUA DEG DEG SER GINI DONG BURUNG HANTU SIALAN.

"Aku nggak ngerti apa yang Bobo-chan maksud." Sebisa mungkin aku berusaha tetap staycool. Meskipun obrolan se-ambigu ini. Aku harus tetap cool. Harus.

"Kalau Na-chan menolak punya anak, buatnya saja gapapa kan?" Bokuto menjabarkan argumennya masih dengan mulut manyun yang bisa membuat aku ingin menghajarnya kapan saja, "Kita belum pernah melakukannya lagi semenjak saat itu, aku khawatir kalau tidak dilakukan lagi, akan terjadi apa-apa, lagi pula kita sudah menikah jadi meskipun melakukannya tidak ada yang memarahi, kalaupun terjadi apa-apa, kita sudah terikat secara hukum. aku pikir jadiー"

"DIAM."

BACOT YA BOKUTO INI, MAKSUDNYA ITU GUA DAN DIA DULUーOKE ITU BUKAN GUAーPERNAH MELAKUKAN HAL YANGーASUDAHLAH.

Aku menginterupsi kalimatnya, "Aku tidak ingin seperti itu karena kupikir kita masih kecil." Aku mencari-cari alasan logis yang sebenarnya malah tidak logis sama sekali, "Boleh minta tolong jangan membahas hal seperti itu lagi?"

"Tapi.." Bokuto ingin menyampaikan sesuatu tapi dia urungkan saat aku menggelengkan kepala padanya.

"Kalau Bobo-chan memang ingin punya bayi, bagaimana kalau mengambil bayi kucing atau bayi burung hantu saja? Bobo-chan tetap bisa merawatnya, kan?"

Suasana menghening ketika ia mengaku kalah lagi dengan cara menganggukkan kepala dengan lesu, entah karena sakit atau memang capek karena permintaannya kutolak mentah-mentah.

Dalam keheningan itu, aku bertanya, karena ingin tahu, "Kenapa Bobo-chan ingin punya anak? Ku kira kita sudah punya kesepakatan di awal?"

Bokuto menatapku, dalam. Kami dipisahkan oleh meja makan yang menyekat kami berdua, "Aku merasa akan kehilangan Na-chan."

Deg.

Aku membatu.

Entah karena ucapan itu atau tatapan sendu Bokuto yang sejak bangun menghiasi pandangannya. Aku takut bertanya, aku tidak ingin mengetahui hal-hal yang akan membuatku sedih nantinya.

Aku menatap Bokuto dalam jeda yang tak berkesudahan dikepalaku itu.

"Entah kenapa, aku ingin merasakan keberadaan Na-chan lebih banyak. Aku ignin membuktikan kalau rasa takut yang menyerangku itu cuma ilusi," Aku bisa melihat Bokuto yang hampir menangis mengatakan itu, "Aku ingin yakin kalau Na-chan itu benar-benar nyata."

Ketika kalimatnya selesai aku langsung memeluknya yang masih terduduk di kursinya, ia dalam pelukanku yang sedang berdiri. Wajahnya terbenam sempurna di perutku dan aku merasaknnya hampir menangis lagi. Kami terdiam, aku merasakan ketakukannya juga dalam pelukan itu.

Rasa takut yang juga milikku.

Hening.

"Na-chan," Ia memangilku dengan muka yang ketutupan.

"Apa?"

"Na-chan bilang suka rambutku kalau turun kebawah, kan?"

Aku mengangguk meski ia tidak bisa melihatku, "Ya, itu benar."

"seberapa besar rasa sukamu bertambah padaku kalau rambutku tidak pakai gel?" Bokuto memburuku dengan pertanyaan.

Sekarang aku yang bingung, "Rasa sukaku padamu tidak pernah naik atau pun turun. Rasa sukaku tidak selabil itu, kau tahu?"

Ia menjauhkan wajahnya dari tubuhku dan berdiri, sekarang aku yang harus mendongak untuk menatap wajahnya, "Meskipun aku menyebalkan, tapi tidak ada yang bisa menyukai Na-chan, seperti yang aku lakukan."

Meh, sombong sekali.

"Aku juga begitu."

Tentu saja aku nggak mau kalah.

Ia tersenyum, "Kalau cium masih boleh, kan?"

Aku menggaguk setelah berpikir beberapa saat.

Lagi, pagi itu aku ditulari virus demam lewat ciuman kedua hari ini. Tapi aku rasa aku tidak masalah. Aku suka.

***

Note :

Nahlo tulis apaan ini gua? Maap kalau jelek. Aku sayang bokuto kotaro. Terimaksaih mau baca.

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now