Pertanyaan Bianglala

376 65 8
                                    

"Tada!"

Sebuah gulali besar berwarna merah muda sudah berada di depan wajahku, menutupi si pemberi yang hanya kelihatan rambut keperakannya saja. Aku cemberut sedikit lalu mengambil sesuatu kesukaanku itu dari tangannya.

"Nggak capek apa dari tadi bolak balik naikin semua wahana?" aku menggigiti gulali yang sudah diserahkan padaku dengan wajah menikmati. Aku selalu suka gulali, sayangnya tak bisa dibeli sering-sering karena aku orangnya gampang terserang batuk, dan kemiskinan. Entah kenapa fakta terakhir benar adanya, seberapa pun berusahanya aku berhemat, diujung waktu, aku pasti akan kehabisan uang dan 'kelaparan' sampai masa gajihan tiba.

Oke, kenapa aku curhat?

"Sudah jam setengah sepuluh, menurutku malah kita kurang cepat menikmati hari ini." Bokuto juga cemberut, aku tidak tahu mesti bereaksi apa, aku tidak punya sesuatu yang bijak untuk dikatakan, dan aku memang tidak pernah punya sesuatu yang seperti kebijaksanaan didalam diriku. "Na-chan memang harus banget jemput Akaashi, ya?"

Aku mengganguk, "Harus dong."

"Jadi lebih penting akaashi daripada aku?"

"Untuk sekarang, ya." Aku dapat melihat raut Bokuto yang seketika merajuk, "Lagipula, aku sudah menghabiskan banyak waktu bersama Bo-chan, kan?"

Lelaki-ku itu melipat kedua tangan, "Aku sebal sama jawaban Na-chan."

Oke, sekarang sudah waktunya aku mengalihkan pada pembicaraan bermutu, mengeluarkan kalimat andalan yang membautnya lupa kepundungan, semacam apa ya?

"Bobo-chan, tadi bilang mau ngomongin sesuatu, ngomongin apa? Kayaknya penting."

Raut wajahnya berubah, ia perlahan serius dan dengan iris kecokelatannya, ia tersenyum sedih-aku masih belum mengerti maksudnya apa.

***

Ruangan itu tidak besar, hanya cukup empat orang jika penuh. Kebetulan warna yang kami tumpangi adalah merah muda, senada dengan gulali yang sudah habis dan berpindah keperutku. Bokuto tersenyum kepada penjaga bianglala setelahnya mengikutiku masuk.

"Aku pesan tiga putaran, jadi saat orang-orang turun, kita masih punya jatah dua putaran lagi." Jelasnya.

Aku memanggil ia perlahan, "Hei, Bo-chan."

"Apa?"

Bianglala perlahan naik, ketika aku melirik keluar sangkar, taman hiburan ini sudah mulai terlihat sebagian, aku merasa berada diantara angkasa.

"Kamu ingin minta cerai, ya?" lanjutku, santai.

"KOK KAMU NGOMONGNYA BEGITU!" sementara Bokuto ngegas. Ngeeng. Sudah kayak mendaki gunung, gas full.

Tapi karena ada kepercayaan bahwa tebakanku adalah hal yang salah besar, aku tertawa, tentu saja mggak mungkin, kan? Mana mungkin juga Bokuto menceraikanku. "Aku juga ingin mengatakan beberapa kejujuran, Bo."

"Tentang masakanku yang nggak enak?" tebak Bokuto takut-takut.

Aku tersenyum dibuatnya, "Bukan."

Kami terdiam, ketinggian kami sudah seperempat, taman bermain sudah mulai nampak hampir keseluruhan. Dalam diam itu, aku beberapa kali mencuri pandang pada Bokuto yang juga menatap kepadaku. Kami duduk berhadapan, ku ingin sekali menggenggam tangannya sekarang.

"Ini waktu yang tepat untuk ciuman, ggak?"

"Lagi?"

"Yang tadi rasa Na-chan sudah hilang dari bibirku."

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang