Menelpon

436 72 17
                                    

Mungkin ada hal-hal khusus yang harus kamu lakukan kalau mau ke rumah orang lain; pastikan orang yang kamu tuju itu sedang ada di rumah.

Benar-benar pastikanlah lebih dulu.

Jangan sepertiku sore ini.  Sudah beberapa kali aku menekan bel dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Beruntung seorang tetangga yang sedang membuang sampah memberi tahu kalau empunya rumah sedang tidak ditempat. Sudah beberapa hari lalu perginya.

Arggh.

Aku merogoh kantong mantelku dan mengeluarkan ponsel buatan Korea--silakan tebak sendiri merek laris tersebut--lalu mencari nama sebuah kontak, setelah nama orang yang sekarang rumah nya kosong melompong tertera dilayar, kupilih opsi gagang telpon yang hijau. Menaruhnya di telinga dan menunggu di seberang sana mengangkat telponnya.

[Moshi-moshi?]

“Sialan, kamu ke luar negeri nggak bilang-bilang?!” Ku maki-maki saja seorang yang baru saja mengeluarkan suara di ujung  telpon.

[Lha, sejak kapan pergi keluar negeri harus bilang-bilang? Bikin pengumuman pakai baliho begitu?]

Aku menghela napas kesal, oh ternyata menyebalkannya belum sembuh, “Dina mana?” aku langsung mengatakan apa yang sedang kucari.

[Dia di hotel. Aku sekarang lagi di lapangan voli. Kenapa?]

Aku bisa mendengar dengan samar suara bola voli yang terpantul dan menggema di belakang Akaashi,  dia tidak bohong. Dia memang ada di lapangan voli, “Kalau begitu, tanya ke kamu saja boleh nggak, Akaashi?”

[Bertanyalah sesukamu.]

“Oke, aku sama Dina cantikan siapa?”

[Dina.]

Baiklah, itu hanya pertanyaan pemanasan. Aku menghela napas, “Dulu manejer Fukurodani ada berapa? Memang ada yang namanya Riri?”

[Tiga. Dan, ya. Ada yang namanya Riri.]

Aku lagi-lagi membiarkan hidungku menghela, lalu kaki-kakiku berjalan—entah kemana—sambil menelepon, aku melangkah lumayan jauh dari rumah akaashi, “Kira-kira, bagaimana caranya aku bisa ketemu dia?”

[Ya, temui saja dia.]

“Akaashi,” aku memanyunkan bibirku, “kamu itu niat kasih solusi nggak sih?”

[Lha, memang kamu lagi minta pendapat?]

Bodoamat deh, terserah lu aja, burhan!

“kamu ingat nggak sih yang aku ceritain soal aku tuh dari dunia lain?” Aku duduk di salah satu bangku taman, dan menatap orang-orang lewat sambil mengobrol dengan akaashi lewat telpon.

[Oh, yang omongan nggak masuk akal bilang dunia ini komik?]

“Y-ya, i-itu.” Aku menggigit bibir, yang tahu soal ini baru Akaashi saja, cuma dia yang berani aku ceritakan, "Kalau aku bilang Dina juga dari duniaku, kamu percaya nggak?"

[Terus si manejer baru itu juga dari duniamu, begitu?]

"Tepat! Itu yang aku coba dari tadi katakan."

[Omonganmu ngelantur lagi.]

Akaashi terdengar sama sekali tidak percaya, tapi aku bersikukuh kalau itu semua bukan kebohongan, "Aku ngomong yang sebenernya, kok."

[Kamu, sudah ceritain teori gilamu ini ke Bokuto-san?]

Untuk beberapa waktu setelah ia bertanya, aku terdiam sebentar, “Be-belum.”

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now