Asumsi Kehilangan

443 68 30
                                    

Aku menunggu di pintu kepulangan terminal--entah terminal berapa.  Jadi aku hanya diam, memandangi satu persatu manusia yang keluar dari sana, separuh berwajah senang karena menemukan keluarga, teman--atau mungkin pacar?--menunggu tepat ketika mereka pulang. Separuhnya lagi keluar dengan muka lesu yang senang, bisa jadi mereka habis menyelesaikan liburan panjang dan bergembira di tempat wisata?

Jadi ingin liburan ke luar negeri juga.

Kenapa kebanyakan pulang selalu lebih menyenangkan dari pergi, ya? Padahal untuk rindu rumah--untuk pulang--kita memerlukan kepergian dulu, kan?

Ah, mereka lama.

Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang.

“Mona,” Sebuah suara, membuatku serta merta merasa kaget. Untung tidak latah ‘ecopot copot.

Aku menoleh dan menemukannya. Ah ya, tentu saja dia Akaashi, kan?

“Lama ya? Tadi sempat delay beberapa menit pesawatnya.” Akaashi mengacak rambutku. Rasanya ini sedikit tidak benar, aku harus membetulkannya.

“Dina mana?” Aku celingukan mencari gadis itu, takutnya kan ketinggalan dibelakang soalnya Akaashi jalannya cepat. “Ke toilet dulu?”

“Toilet?” ulang Akaashi, “Kau mau toilet?”

“Ish, bukan.”

“Lha?”

“Dina mana?” aku mengulang pertanyaan yang dari awal sudah kuutarakan. Nggak dengar ya?

“Dina?” Akaashi mengulang perkataanku, seperti kebingungan.

Hal tidak beres akan  terjadi lagi, dan itulah firasatku. Semoga tidsk benar. Semoga semoga semoga.

“Kau punya tunangan, dan ia menemanimu keluar negeri, Akaashi.” Kujawab dengan lelah. Aku akan kembali dalam fase bosan menjelaskan. Dan aku sepenuhnya yakin kejadian Dina akan sama persis seperti yang terjadi pada Kentang--Ri-chan nya Konoha.

“Kau bercanda? Mana punya aku tunangan.”

Exacly. Sesuai dugaan. Dina lenyap. Padahal semalam aku ingat aku dengar suaranya di ujung telpon, dan aku membuat Janji dan oleh sebabnya aku berdiri disini menungguinya.

“Semalam, aku menelepon, dan menjemput kalian disini. Ketika itu aku buat janji dengan siapa?” Aku membantu Akaashi menarik kopernya, menuntunya berjalan. Aku sepenuhnya sudah malas berdebat soal seperti ini. Tentang kehilangan-kehilangan ini.

Bagaimana rasanya ditinggalkan ketika kita tidak tahu apa yang hilang ya?

Tentu rasanya tidak menyakitkan.

Aku ingin dianugrahi perasaan seperti itu, kemampuan melupakan tepat saat kehilangan. Membuatnya seakan tidak pernah ada, tidak pernah terjadi, dan otakmu tidak perlu bersusah payah mengubur memori karena memang... itu tidak perlu.

Aku kehilangan satu kawan lagi, di sini.

“Kau kan bicara padaku, Na. Memang mau cerita apa sih?” Akaashi dengan kadar menyebalkannya yang berkurang—atau karena aku yang tidak menyadari lagi nbetap menyebalkannya dia—melirik kearahku.

Padahal jelas-jelas semalam aku menelepon dan berbicara pada Dina.

“kau beneran nggak ingat Dina, Akaashi?”

Ia menyerngit, “Dina Dina Dina siapa sih?”

“Tunanganmu.”

Akaashi menghela napas, “kalau mau ngajak berantem, mending pas aku sudah istirahat dari perjalanan ini deh.”

“Tapi dia ada, Akaashi.”

Ia menatapku, mungkin ia bingung, tapi seperti sebuah harapan, Akaashi malah bertanya, “Soal kau yang katanya dari dunia lain itu?”

“Nah!” Hampor saja aku akan memeluk pemuda itu, hampir. Aku mengguncang-guncangnya hebat, “Aku ingin bahas itu!” setelahnya aku menghela napas, “Tapi bukan denganmu, seharusnya dengan tuanganmu.”

Akaashi menghela napas, “Kopi dulu deh.” Ia menggeretku mencari kedai kopi sambil mengeluarkan ponselnya lalu mengusap-usap layar. Seperti memeriksa notifikasi penting, atau entah apa.

Otakku yang tidak seberapa pintar inim mulai memainkan perannya untuk menyusun hipotesis yang bisa kugunakan;yang pasti soal kehilangan dua orang teman nyasarku. Entah bagaimana, Dina--yang sudah kuprediksi sebelumnya juga akan hilang dan tidak ditemukan dimana-mana, seperti kasus Kentang. Sayangnya jeda mereka terlalu dekat, aku belum berdiskusi apa-apa.

Bagaimana mereka pulang? Dengan sebuah mantra kah? Atau pintu seperti yang dipunya doremon? Apa mereka berpamitan sebelumnya sesaat sebelum kembali? Apa ada perpisahan?

Kalau iya, mungkin ini seperti memasuki pararel universe hanya saja terlalu jauh. Dalam beberapa kasus mungkin perjalanan waktu atau perjalanan dimensi terjadi (atau dilakukan, terserah) hanya terjadi disekitaran semesta alternatif yang ada. Kesalah memilih misalnya. Misalnya didunia pararel satu aku menjadi atlit, di pararel dua aku hanya pecundang, dan di pararel ketiga aku menjadi entah apa.

Namun disini sub-semesta yang kupunya malah sama seperti sebuah plot manga fenomenal dengan menggunakan loncatan waktu sebanyak delapan tahun. Fakta paling kongkrit adalah usia Bokuto, didalam manga atau anime Bokuto Koutaro masihlah siswa kelas tiga SMA fukurodani yang berada di kisaran tujuh belas tahun, sementara Bokuto yang disini sudah mencapai angka dua puluh lima tahun. Semesta ini belum pernah kupikirkan sebelumnya, dan tercitalah mimpi se-absurd ini.

Kalau iya ini cuma mimpi, bagaimana caranya kami bisa saling terkoneksi dengan baik sebagai teman?

Apa kami terjebak di mimpi yang sama?

“Na.. Mona.. Na-chan...” Akaashi menyenggolku, menyelamatkanku dari lamunan tanpa tepi seperti barusan.

Aku menemukan kesadaranku kembali, “Eh..kenapa kenapa?”

Sahabatku ini menatapku dalam, raut wajahnya penuh kebingungan, ai seperti sedang mengasihani sesuatu, tapi apa? Kenapa?

Ia menatapku dalam.

“Woi, kenapa sih?” ulangku yang geram hanya dikasih lihat wajah sedih seperti sekarang.

Ia menatapku nanar, “Kapan terakhir kau menggunakan ponselmu? Melihat portal berita?"

Aku berpikir sebentar, sambil mengingat-ingat, “beberapa jam yang lalu mungkin. Soalnya tadi aku fokus dengan Bokuto dan menunggumu.”

“Kau tadi itu ke taman hiburan sama Bokuto???” pemuda itu kaget aku menjawabnya, yang membuatku juga tak kalah kaget.

“Kenapa sih?”

“Apa saja?” akaashi mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan dan wajah sangar dan sungguh sulit kumengerti, dan satu lagi, aku harus apa?

“Melakukan hal-hal menyenangkan, pacaran deh intinya mah.”

“Dia meminta maaf?”

“Siapa?”

“Bokuto.”

“Lha minta maaf buat apaan coba?”

Aku tak begitu mengerti situasinya, tapi raut wajah Akaashi mencerminkan ketakutan yang hebat. Apa ini soal Dina dan Kentang?

Atau malah bukan?

Pemuda ini menarik napas, menenangkan dirinya, dan setidaknya, itu juga menenangkanku. Ia masih menatapku dengan tatapan paling tidak bisa ku mengerti, “Sebelumnya kamu jangan panik, Na.” Akaashi memegang kedua pundakku, “Bukalah ponselmu, dan ceklah portal berita manapun.”

“Ke-kenapa? A-akaashi sejujurnya kau membuatku takut.” Ujarku, berterus terang, dari hati sekali.

Apa yang keliru.

Dengan segera aku merogoh kantong mantelku dan mengeluarkan ponsel dari sana, dengan cekatan mengikuti instruksi seperti yang tadi dia bilang.

Setelah membaca sesuatu yang menjadi hedline besar-besar di seluruh internet, aku menatap Akaashi yang juga sedang menatapku.

Ketika itu, kami sama-sama tahu bahwa ini bukan hal baik.

***

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu