Bertukar Cerita

420 61 16
                                    

Dengan lampu yang hingar-bingar berkerlap-kerlip melatari senja. Sayangnya langit kemerahan itu tidak tampak cukup indah, senja terlihat sama saja di mataku sekarang. Tidak, tidak ada yang indah. Sama sekali tidak.

Dengan lampu kerlap kerlip itu, siapa mengira aku kembali menginjakkan kaki di sini menampilkan plang yang sama seperti yang tadi pagi kulihat, sebelum semua malapetaka menyebar hebat hampir di semua pelosok internet. Aku lelah.

Seseorang menungguku. 

Jadi aku harus bergegas masuk tanpa membeli tiket karena aku masih punya gelang yang tadi pagi kupakai menaiki nyaris keseluruhan wahana. Ingatan yang menyenangkan—setidaknya untuk hari ini.

Kaki-kakiku melangkah ke bianglala.

Tempatnya ingin bertemu, jadi kami memilih tempat janjian di sini, meskipun ada yang mengetuk-ngetuk sakit di balik hatiku ketika mengingat pagi tadi aku melakukan hal-hal manis bersama Bokuto.

Kenapa harus ingat di saat seperti ini?

“Hai, Na.”

Aku melamun, kenapa? Karena aku bahkan tidak sadar seseorang mendekat ke arahku dan sekarang sedang berbicara. Mana ada seseorang yang sampai merasakan orang lain sudah berdiri di hadapannya sendiri?

“Hai, Akinori Konoha.” Aku mengulas sebuah senyum yang tidak lebar, namun cukup untuk disebut ramah, “Aku nggak tahu kamu mau bilang apa, tapi bisa ku bilang ini adalah tempat yang aku benci sekarang. Bisa kita ke tempat lain?”

Kedua tangannya ia simpan rapi di dalam saku hoodie-nya, dengan seulas senyum malas, pemuda itu tersenyum malas seperti biasa—seperti Konoha yang sering kita lihat di sudut panel-panel dalam manga Haikyuu. Ia tampak sama denganku sekarang, “Kemana?” ia menaikkan bahu, “kenapa?”

“Aku baru saja tadi pagi kemari bersama Bokuto—kau tahu? Aku malas bahas itu. Ku pikir kamu akan mengerti tentang hal-hal semacam itu.” Aku cukup diberi dua kata tanya untuk mengerti jawaban seperti apa yang di inginkan Konoha, “Pergi ke mana pun asal jangan di sini.”

“Apa kau membencinya karena dia mencium seseorang?”

Ada sesuatu di tubuhku yang seketika beku.

Kilasan video dan potongan-potongan berita yang sempat terbaca olehku memenuhi kepala, menyaksikan seseorang yang begitu dikenal tiba-tiba menjadi seseorang yang tidak lagi sama?

Apa Bokuto melakukannya karena ia ingin sekali punya anak? Apa aku tidak begitu baik untuk dia cium malam itu? Kenapa perasaanku tiba-tiba terasa sakit? Dan untuk apa aku sakit?

Aku menghela napas, “Nggak. Aku nggak benci dia.”

Samar Konoha tersenyum, “Lalu?”

“Aku membenci diriku sendiri.”

“Kenapa? Kau kan nggak buat kesalahan apa pun.”

Aku tertawa, “Aku membuat kesalahan fatal,” selalu ada kalimat-kalimat yang sulit sekali diungkapkan, “bisa-bisanya aku membuat diriku sesedih sekarang hanya karena ini.”

Tangisku merembes. Kuusahakan tidak pecah.

“kau nggak salah, Na.”

Mengajari diri untuk selalu tahu diri adalah sebuah keahlian sampai saat sekarang aku tidak menemukannya lagi di dalam diriku. Kopong. Aku bahkan sepertinya tidak bisa menyukai orang lain lagi karena ini. Menyedihkan karena sebenarnya aku adalah seorang jomblo kuadrat.

“Mau aku ceritain sesuatu nggak?” Konoha bersuara lagi, memecah keheningan. Ia menuntunku ke salah satu bangku yang kosong di bawah bianglala. Menyebalkan.

Aku menggeleng, “Kalau lelucon kacangan, aku nggak mau dengar.” Tegas ku tolak. Aku tidak suka segala bentuk harapan palsu, jadi kalimat pedas akan efektif sekarang.

“Sekalipun untuk menghiburmu?”

“Sekalipun untuk menghiburku.”

Konoha memundurkan tubuhnya dan bersandar di penyangga, “Riri memang hilang kemarin, tepat sebelum kau dan yang lain datang untuk mampir.” ia menghela napas, "Sorenya saat kau telpon, ingat? Aku dan Riri sedang naik di salah satu bianglala itu."

Lelaki itu menggunakan bahasa yang bisa dimengerti, tapi bodohnya aku butuh beberapa waktu untuk mencerna perkata dari apa yang ia lontarkan. Sebentar, katanya Riri hilang? Hilang bagaimana? Tak berbekas kah? 

“Bagaimana bagaimana? Ulangi coba jelasinnya.” Aku menegakkan badan, memasang telinga, berusaha mebuat ruang sebanyak mungkin untuk otakku membuka informasi. "Dia hilang?"

"Ya. Hilang. Plop. Hilang gitu."

Aku memukul lengannya, "SERIUS!"

Konoha membiarkan semuanya terasa lama, ia menatapku lama, lalu tersenyum. “Dia bilang dia bukan dia. Lalu dia hilang tanpa bekas, kayak orang tanpa idientitas. Dan benar, semua orang nggak punya ingatan apapun tentang dia.”

Anehnya cowok dengan rambut hijau daun itu, tersenyum. Itu perih tapi ia bertahan dengan senyumnya itu.

“Terus, kau juga ikut lupa tentangnya?”

“Pura-pura.” Ia membenarkan.

Aku terperangah, “jadi,” aku diam mengambil napas sebentar, “Waktu ku tanya soal kentang, kamu tahu? Kamu ingat? Kamu paham?” aku menggoyang-goyangkan lengan konoha yang pasrah, anehnya ia tetap tersenyum seakan itu semua bukan apa-apa.

Ia mengangguk.

Aku membiarkan keheningan datang, perlahan cengkramanku pada lengannya mengendur. Lau aku yakin kita memikirkan hal yang sama; kehilangan selalu tampak mengerikan tak peduli sudah terlewat atau belum.

Aku menghela napas, panjang. Tidak ada perasaan berat yang berkurang. Orang-orang berbohong tentang menghela napas bisa mengurangi beban. Dusta. Hoax.

“Bagaimana?” tanyaku.

Ia menolehkan direksinya, “Apanya?”

“Bagaimana kehilangan?”

Aku rasa dia tidak berniat menjawab waktu ia memamerkan sebagian giginya dalam satu cengiran, tapi mungkin aku salah. Ia mengangguk, “Kehilangan tidak pernah selega ini. Meskipun ngga enak sih,”

“Apa mungkin Akaashi juga begitu?” aku menunduk, menatap sepatuku yang lusuh karena seharian ini aku berjalan sangat serampangan, “Berbohong tentang Dina.” Lantas aku menatap Konoha lagi, “Ia juga kehilangan Dina sepertimu kehilangan Riri.”

Pemuda itu menatapku, aku menunduk. Membayangkan semua orang yang tiba-tiba menyelapnya kami dari dimensi lain. Aku bertanya-tanya apa rasanya dilupakan segini besar? Kenapa konoha dan akaashi berpura-pura tidak kehilangan sementara itu bagain paling sakitnya dari hubungan jarak jauh antar dimensi?

“Dan bagaimana Bokuto kalau kehilanganmu?”

Dari pada bertukar cerita, ini lebih enak disebut; bertukar kehilangan.

***

Note :
Akhirnya :)

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now