Taman Hiburan

403 62 5
                                    

Aku tidak pernah tahu, ini akan jadi hari yang panjang.

“Na-chan yang semangat dong!”

Bokuto Koutaro, dengan energinya yang mustahil habis, sedang menarik tanagnku dengan semangat penuh. Saking penuhnya mungkin sampai meluber keluar dari penampungan semangat.

Semalaman sejak pulang dari rumah Konoha, aku mengalami susah tidur yang mengganggu. Mungkin karena sorenya aku sempat tidur untuk waktu yang lumayan, semua hal gagal membuatku terlelap. Suara keran, suara jarum jam—semua hal berhasil membuatku terjaga sepanjang malam. Beruntungnya sebelum semua terasa sia-sia, aku bangun dan mengerjakan PR-ku sampai subuh. Mata ini terasa berat ketika jam sudah menuju angka lima, dan disanalah aku jatuh tertidur dengan telat.

“Na-chan! Semangat!” Bokuto sedang memaikan ujung jaketku yang sama sekali tidak aku gubris.

Ingin kubalas, ‘Bacot!’ tapi ya nggak jadi. Takut pundung anaknya, berabe nanti. “Jadi Bobo-chan bangunin aku sesubuh ini untuk kesini?”

Ya. Aku baru satu setengah jam tertidur—dengan usaha keras tentunya—dan dengan kejamnya diseret kemari oleh orang yang tidurnya pulas sekali. Ia pasti lelah. Duh mau marah terus nggak jadi. Siapa? Aku.

Kami berdiri di sebuah plang taman hiburan paling hits seantero tokyo, atau bahkan jepang? Atau malah dunia? Pokoknya taman hiburan ini terkenal sekali. Banget. Pertanyaan baru muncul, kenapa di jam tujuh pagi taman hiburan sudah buka? Sepagi ini? Kenapa?

Ya namanya juga mimpi. Iyain saja.

Bokuto menggangguk, wajah senangnya menenangkan hatiku yang gundah, senyum polosnya bisa membuat siapapun tidak jadi melakukan hal buruk padanya—menurutku. Alis matanya terbentuk sempurna, bulu matanya melengkung dengan baik, dan jangan lupakan iris cokelatnya yang selalu memancarkan aura optimis. Kenapa aku baru mensyukuri makluk setampan ini sebagai suamiku, sih?

“Semalam pas konoha bilang dia naik bianglala sendirian, raut muka Na-chan langsung berubah gitu, kupikir Na-chan juga kepingin ke taman hiburan juga.” Bokuto mengatakannya dengan wajah polos, “Aku juga ingin berbicara beberapa hal dengan Na-chan.”

Tidak menjawab, hanya kuperhatikan.

Karena salah tingkah, ia nyengir, “Sekalian minta maaf karena semalam pulang larut dan buat Na-chan khawatir sih. Hehe.”

“Jam sebelas aku jemput Akaashi di bandara.”

“Tenang, masih lama.” Bokuto memamerkan jempolnya, “Lagi pula, itu sebabnya aku mengajak na-chan pagi, kan?”

Aku harus mendangak untuk mengimbagi tingginya. Aku terserap pada tatapan mata itu. Kukira Bokuto mempunyai sihir yang aktif bekerja, karenanya aku selalu gagal memikirkan hal-hal rasional kalau kebanyakan memikirkan satu makluk yang berdiri kurang dari setengah meter didepanku ini.

Ia benar-benar memperhatikanku.

“Bo-chan?”

Ia yang sedang  tak sengaja menatap berkeliling langsung teralihkan lagi padaku, “Eh, iya? Kenapa?”

“Aku ingin cium.”

Baiklah, sekarang Bokuto tertawa nakal, aku selalu suka bagian ini, “Silakan, tuan putri.”

“Tapi Bo-chan terlalu tinggi,” Aku cemberut, lalu mengeluarkan suara seduktif yang bahkan aku tidak percaya aku bisa mengatakannya, “Aku sulit menggapaimu.”

Seperti seorang lelaki dewasa yang peka, pemuda ini harus out of character dari sifatnya sebagai Bokuto Koutaro, Karena setelah senyuman nakalnya yang menjadi-jadi, ia malah merengkuhku, dan bukannya menunduk untuk menggapai bibirku, ia dengan sangat bertenaga meraih bagian pinggang dan mengangkatku tinggi.

“AAAAA!”

Tentu saja aku berteriak karena takut—meski kalau boleh jujur ada perasaan senang juga sih. Hehe.

“Bo-chan, turunin! Malu banyak orang, tahu! Turun turun turun!”

Sialnya ia tidak menampik protesku dan malah menggendongku, didudukan di pinggangnya, persis adegan dewasa yang sering kamu lihat di komik hentai, ia tertawa, “Sekarang, kau dan aku sejajar.” Ia menyapukan nafasnya diwajahku, candu sekali, sialan! “Lakukanlah yang Na-chan ingin.”

“Ok.” Kutelungkupkan kedua tanganku dipipinya, lalu menciumnya sebebasku, karena memang aku tidak tahu cara mencium yang baik dan benar. Ada yang mau mengajari?

Bokuto tertawa dalam cium itu, dan dalam cium itu aku hampir tidak bisa mengendalikan diri, Laki-laki ini perlahan menurunkanku dari gendongannya dan karena masih tersisa akal sehat yang menyangkut dikepala, aku menarik diri. Ya, sebetulnya kehabisan napas juga sih.

“Jadi,” Bokuto membersihkan ujung bibirku dengan satu jari telunjuknya, “Aku sudah di maafkan ini?”

Aku agak manggut-manggut, mirip boneka anjing di dasbor mobil orang-orang, “Sepertinya.”

Ia mengacak rambutuku gemas lalu merunduk sedikit untuk sekali lagi mencuri kecupan singkat di pagiku yang cerah, “Yaudah, Na-chan tunggu disini. Aku beli tiket dulu ya.”

Yang ku bingung, setelah berpamitan seperti itu, ia masih saja mencoba mencuri satu kecupan lagi sebelum pergi. INI SEJAK KAPAN BOKUTO KOUTARO JADI GEMESIN PARAH KAYAK SUGAR DADDY GINI SIH, TOLING DONG TOLONG KONDISIKAN.

Seraya memeperhatikan punggungnya yang menjauh, aku tersenyum, kenapa pagi ini begitu manis sementara sebelumnya aku sangat benci bangun dan menemukan beberapa hal. Kenapa? Semua gelisahku perlahan lenyap dan yang tersisias di kepalaku adalah perasaan bahagia yang meletup-letup dan pastinya sulit dijelaskan.

“Senang sekali, Bokuto Mona pagi ini?” sebuah suara menginterupsiku, tanpa perlu menoleh, aku tahu benar siapa pemilik suara cantik menyebalkan ini.

“Jangan terlalu senang, siapa tahu, kebahagiaanmu itu bisa direnggut paksa oleh orang lain.” Tepat saat aku menoleh, Sakura tersenyum. Dan mengelurkan wejangan paling menyebalkan yang pernah ku dengar.

LAGI PULA NGAPA SIH PAGI-PAGI SUDAH CANTIK BEGITU TAPI DISINI? KENAPA JUGA SUDAH DISINI, WOI!

Dan mungkin benar, ini akan jadi hari yang panjang.

•••

Ya kira-kira Sakura kayak gini lah

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.


Ya kira-kira Sakura kayak gini lah.

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Onde histórias criam vida. Descubra agora