BEDA DIMENSI (epilog)

867 82 48
                                    

“...Naaaa, bangun.”

Hal yang paling pertama yang terlihat ketika membuka mata di pagi hari adalah; langit-langit ruangan. Selalu. Terulang lantas menjadi pola.

Mungkin dengan sedikit meruntuk karena pagi mengharuskan seseorang kembali pada aktivitas.

“Monaaaa, bangun. Katanya minta di bangunin pagi.” Mama di ujung pintu berteriak, “Abangmu sudah duluan berangkat dan kamu masih tidur, memang semalem selesai jam berapa sih?”

Kamu terdiam, tatapanmu menerawang, ingatan barusan jadi terasa samar, “Kayaknya Mona semalem ketiduran.”

“Lanjutin kerjain deh, ibu masak tongseng enak ini,” lalu tanpa disadari olehmu, beliau sudah menghilang lagi menuju dapur, makanannya belum matang semua.

Sorot matahari malu-malu melewati gordeng, dengan kedipan mata yang segar dan tidak percaya ia terduduk di ranjangnya. Laptopnya kehabisan baterai, layarnya sudah mati. Sprei nya masih bermotif Doraemon, dan tugasnya berserakan. Persis seperti yang di tinggalkannya semalam.

Semalam?

Setelah semua yang terjadi itu semua hanya ‘semalam’?

Tring!

Notifikasi twitter masuk ke handphone-mu, seseorang meninggalkan reply;

@floppyams: @nopembermu @demenhujat AKU MIMPI BAGUS SEMALAM! CUMA KOK AKU LUPA MIMPINYA APA!

Kamu menghela napas, kamu tidak ingin menangis lagi. Tapi pada akhirnya kamu malah memeluk lutut. Menangis lagi; tugasmu belum selesai padahal jam sembilan sudah harus di kumpulkan.

***

@nopembermu membalas: Aku lupa kejadiannya apa, tapi aku tahu itu adalah hal yang baik :)

***

Kamu mengumpulkan tugas di detik-detik terakhir, dosenmu hampir mengutarakan perkataan tidak menyenangkan yang kamu tidak ambil hati, bodoamat ya, yang peting sudah kumpul.

Lalu dengan sisa tenaga, kamu bangkit dari meja kelasmu, mengumpulkan segenap mau, berniat berangkat kerja.

“Kalau aku lupa bagaimana? Masak aku melupakan mimpi sebagus ini, sih?”

Kamu tahu betul, setelah dihantam rutinitas ingatan samar ini perlahan akan menguap dan kamu tidak akan ingat pernah menikah dengan seseorang. Seseorang yang seluar biasa itu.

“Mon, mau kemana?” sebuah motor berhenti di depanmu, ia adalah salah satu rekan sekelas yang tadi dikelasmu; Heru.

Ah, kenapa kamu sempat-sempatnya berharap ia adalah seseorang yang menyerupai Bokuto, sih?

“Kerjaan. Mau cari duit buat hedon.” Jawabmu, sekenannya.

Anak itu mengangguk, “Mau bareng, nggak?”

Kamu dengan tegas menggeleng, ingin jawab nanti suami marah, malah nanti kesannya mengaku-ngaku. Halusinasi akut. Padahalkan mimpi ya, bukan halu.

“Nggak deh,”

“Beneran?”

Kamu teringat sesuatu, “Her, mimpi itu bisa jadi nyata nggak sih?” lalu bertanya dengan menggebu-gebu.

“Bisa dong.” Mantap cowok itu menjawab, “Harus berusaha dan berdoa supaya mimpi bisa tercapai.”

Kamu mengangguk khidmat, meresapi sebuah nasihat, “Bisa tercapaikan?”

“Bisa.”

Kamu tersenyum, “Kalau gua sama Bokuto nikah di dunia nyata, bisa nggak ya, Her?”

Detik itu, Heru memutuskan untuk menyukai gadis yang otaknya penuh halusinasi; sepertimu.

***

Hari selalu berlalu dengan cepat. Hingga malam menjelang, mimpi yang semalam kamu rasakan hampir musnah dari ingatanmu; tapi tidak dengan euforia sekaligus rasa sakitnya. Kamu ingat betul bagaimana kamu bahagia dan rasa sedih karena berpisah.

Kenapa harus terbangun untuk memisahkan dimensi kita?

Kenapa tidak ada seseorang yang mirip Bokuto menghampirimu lalu mengajakmu menikah?

Kenapa kehidupan masih seberat ini?

Kenapa mendapat nilai A pada mata kuliah unggulan itu sulit sekali?

Kenapa cerita ini ditutup dengan ending menyebalkan yang tidak mempersatukan kamu dan dia?

Kenapa cerita ini dibuat?

Dalam kalutmu ketika menuju jalan pulang di magrib menyebalkan ini kamu hanya bisa berdoa sedikit;

“Tuhan, kalau memang boleh, sekali-sekali aku ingin bertemu Bokuto lagi. Ah, kalau bisa sih, menikah dengannya; sekali lagi. Amiin.”

***

Halo, to!

Gua udah sampe rumah, sampe ke dunia yang gua ceritain waktu itu. Lu nggak percaya sih kita beda dimensi, kan kita kepisah juga akhirnya.

Lu apa kabar? 

Gua mau nanyain lu kekurangan makan apa engga, tapi baru inget lu kan jago masak, jago makan juga. Sia-sia deh gua khawatir. Huhu.

Hari gua berat, To. Gua dimarahin dosen karena ngumpulin tugas di akhir, terus kena semprot bos sialan gua itu yang ingin kerjaan cepet beres hari ini juga padahal ngasih tugasnya juga dua jam setelah makan siang. Dadakan banget.

Anjir, kangen ngata-ngatain atasan bangsat sama lu coba gua itu. Huhu.

Kalau ada lu, mungkin rasanya ga bakal se hampa ini kali ya?

Haha.

Nikah lagi yuk, To. 

Tapi lu kesini ya:’)

Hahaha. Lavyu, sayang. 

Untuk kamu yang ingin kumiliki sekali lagi,

Mona.

***

Note:

Mau tamat, tambahin dikit, apa lanjut?

Maaf lama update huhu.

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now