Seperti Firasat

438 67 11
                                    

Sekarang menujukan pukul sepuluh lima belas.

Tepat.

Entah kenapa, hari ini akan jadi hari yang panjang. Dan mungkin melelahkan.

“Na-chan mau kembang gula lagi, nggak?” Bokuto menawariku makanan yang membuat semua orang bisa diabetes kalau aku makan dua kali lagi—tadinya aku mau bilang, ‘KAMU MAU AKU GENDUT YA?’ Cuma nggak jadi, aku tipe manusia yang makan nasi segede helm pun berat badan yang segitu-gitu aja.

Kami sudah turun dari bianglala sejak sepuluh menit yang lalu, dan menyisakan satu putaran tanpa mengatakan apa-apa. Kadang pikiran bisa lebih banyak bekerja disaat-saat mencekam seperti barusan, dan kalian tahu? Pikiranku hobi sekali membuat teori sendiri, sok tahu dasar.

Layaknya peraturan tak tertulis, kami tidak membahas lagi soal kehilangan, mimpi, sementara, atau apalah apalah itu. Kami sunyi. Seakan memutuskan segalanya kembali seperti awal dan tidak terjadi apa-apa. Aku menyetujuinya, dan itu terdengar lebih baik.

“Aku mau kamu aja, boleh?”

Meski sesaat, aku dapat menyaksikan wajah Bokuto yang memerah hanya karena gombalan kacangan yang kulontarkan.

“Na-chan kalau begitu lagi nanti aku culik masukin kamar terus aku kunci lho kamarnya.” Ia mengancam. Meh, ancaman macam apa itu?

“Begitu gimana sih?” aku menaikkan alis, “Lagian kamar dikunciin abis itu mau apa?”

Ia tertawa mengejek, kemudian Bokuto menunduk dan membisiki sesuatu, “Bikin dedek?”

Nakal memang. Nackhal!

“Yuk, pulang ini ya.”

“Beneran?”

“YA ENGGAKLAH.”

Suamiku itu manyun, ia tidak punya kalimat lain dalam percakapan ini, “Dih, Na-chan mah.”

Jalaanan setapak di taman hiburan ini terasa akrab, walau di dunia nyata aku tidak pernah kemari, bayangan mimpi merefleksikannya dengan nyata. Seperti betulan. Kalau dipikir-pikir aku memiliki pengalaman baru dan banyak juga disini.

“Aku juga jadi kepikiran punya anak.” Selorohku tanpa niat bercanda, “Tapi mungkin nggak sekarang-sekarang.”

“Serius?”

Aku melirik Bokuto yang sedang menatapku dengan tatapan oh-mona-pasti-mau-ngerjain, ia yang sekarang menaruh curiga padaku terlalu banyak. “Mukaku kayak nggak serius?”

Dia nyengir lalu menggeleng. Lucu banget sih, suaminya siapa coba?

“Bo-chan pernah kepikiran jadi jaksa, pengacara, atau mungkin hakim?” aku memperhatikan kuda-kudaan yang sedang dikerumuni bocah-bocah kecil yang sedang mengantri. Mereka terlihat tertib, aku menyukainya.

Ia mengambil tanganku, memasukan jemarinya pada sela-sela jariku juga—bergandengan. “jadi pemain voli lebih menyenangkan.” Dari sudut mataku aku tahu senyumnya sedang merekah sebahagia-bahagianya, pegangan tangan seperti ini sepetinya juga memyebabkan pikiran kami terhubung dengan bergandengan tangan, “Kenapa Na-chan tanya begitu?”

“Secara Bobo-chan kan anak hukum. Aku penasaran apa Bo-chan nggak ingin coba bidang sesuai yang Bo-chan pelajari?”

“Aku kuliah juga kebetulan karena ambil dari beasiswa voli-ku saat SMA.”

“Nggak ada yang kebetulan,” ganti aku yang merapihkan poni silvernya meskipun harus berjinjit sebentar, “Bobo-chan hebat dan pantas terima itu.” Aku tersenyum dan dia pun membalasnya dengan senyuman yang tak kalah lebarnya, “Terus kenapa hukum? Dari semua jurusan kenapa harus hukum?”

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now