Kedai Sushi

417 68 16
                                    


dari : Na-chan

Bisa menemuiku satu jam lagi di tempat makan siang yang sering kau kunjungi saat SMA?

Ada yang ingin kudiskusikan.

***

Beberapa hal kubenci, dan sebagian besar tidak. Biasanya begitulah caraku menikmati kehidupan dengan hari-hari sialan yang kupercayai akan terlewat. Hari tidak baik pasti akan cepat berganti.

Baiklah, tapi kenapa ya hari ini—lebih tepatnya setelah aku melihat internet dan berita-berita sialannya yang terpampang di semua halaman muka—semua hal terasa sama bangsatnya. Tidak ada yang bisa ku syukuri, sama sekali.

Aku mengundangnya datang untuk sedikit berbincang, mungkin memperbincangkan betapa absurdnya hari ini yang kumulai dengan amarah, memaafkan, perasaan bahagia dan cinta yang melimpah ruah, lalu berakhir pada amarah yang jauh lebih tak terkendali. Mungkin aku bisa menamai hari ini; tragedi.

Aku perlahan berbelok ke sebuah gang dengan toko sushi di ujung jalan.

Kaki-kaki kecilku mengingatkan aku pada betapa langkah bokuto yang mengimbangiku kalau berjalan, saat-saat itu aku merasa berjalan tidak akan terasa kesepian. Tapi persetan dengan kesepian, aku punya sesuatu yang lebih bengis dari yang disebut kesepian. Tentu saja aku tidak bisa memaki, tapi aku juga ingin berteriak sampai suaraku serak. Tadinya kupikir itu ide bagus, hingga akhirnya aku menyadari aku tak punya suatu kata apapun untuk di teriakan.

Aku memasuki kedai sushi itu.

Di barisan ketiga diantara meja kosong lain, ia duduk. Aku melambaikan tangan sekilas. Hanya ada kami dan dua, tiga pengunjung lain. Tidak heran  karena ini bukan jam makan siang.

“Hai, senpai.” aku duduk di salah satu tatami depan meja, “Maaf memintamu kesini dan malah dating terlambat.” Dengan senyum yang kupaksakan merekah, aku berbicara sopan padanya.

Mata yang selalu terlihat mengantuk itu lalu mengangguk, “Aku malah senang kau hubungi.” Shirofuku Yukie, menuangkan minumannya dan mempersilakan aku memimun yang tersedia dimeja. Sepertinya dia sudah memesan.

“Aku…”

Yukie menunggu aku menyelesaikan kalimat. Meski mungkin saja ia tahu betul menjelaskan rasa sakit adalah pekerjaan yang berat disaat patah hati.

Aku harus menyelesaikan kalimat ini kan?

“…sakit.”

Di dunia ini, dari semua metafora kata, hanya itu yang terpikirkan olehku. Ada suatu lubang dihatiku yang terbuka lebar sekali, mengangga, meminta apapun untuk menutupnya supaya infeksinya bisa selesai, tapi nihil. Tapi tidak mungkin. Perasaan yang ketika kamu memberikan seluruh duniamu, tapi dengan seenaknya, duniamu itu—dunia yang kau percayai tidak akan menyakitimu itu—malah berbalik dan menjadi alasan perasaan patah yang begitu hebat. Ini bukan lagi patah, ini lebih dari sekedar berkeping-keping.

Ini sakit.

Yukie-senpai, dengan sergap bangkit dari duduknya dan memelukku erat, ia mengkonfirmasi perasaan empati pada rengkuhan hangat yang membuat air mataku lolos dan membasahi punggungnya.

Lemahnya aku.

Ini entah kali keberapa aku menangisi situasi yang bahkan bukan aku yang menciptakan.

Setelah beberapa saat, setelah tangis itu reda, ku lepas perlahan peluk itu, ku tatap mata sayu Yukie-senpai, dan kemudian dengan sisa-sisa ketegaran, aku tersenyum, “Apa kamu pernah kecewa pada Bo-chan, Yukie-senpai?”

Seperti sebuah senyum polos yang murni, ia menarik sudut-sudut bibirnya, “Kalau aku boleh jujur, ya pernah.” Ia memaikan ujung-ujung rambutku, seperti seorang kakak—seperti Bokuto memperlakukanku.

“Ketika kalian putus dan dia malah dengan lantang mengatakn hal yang tidak ingin kamu dengar, senpai?”

“Apa contohnya?”

Aku menghela napas, “Mengatakan menyukaiku.”

Hal yang palin ironis adalah, secara hukum teritorial kepemilikan, aku yang merebut Bokuto dari Yukie. Mungkin di timeline sebenarnya mereka adalah one true pairing. Mungkin saja universe ini hancur karena memang keberadaanku disini. Ini bukan tempatku.

“Itu memang membuat kesal, tapi bukan.” Yukie tersenyum, ia mengerti. Ia mengerti bagaimana perihnya patah hati itu bekerja.

Tepat setelahnya, seorang pramusaji membawakan pesanan. Meski sebenarnya aku merasa belum memesan apapun. Sama sekali. Tapi kalau diingat-ingat aku memang belum makan apapun.

“Aku memesankanmu sushi chicken teriyaki roll,” seperti bisa membaca pikiranku, ia menjelaskan, “masih kesukaanmu kan?”

“aku belum makan apapun,” aku mengangguk, lemah. Tapi berusaha untuk ceria.

“kalau begitu makanlah.” Ia menarik sumpit dan menyiapkannya untukku, “Memang tidak akan merubah apapun sih kalau kamu makan, tapi sedidaknya beberapa hal menjadi lebih baik.”

Aku tertawa, tulus, “Salah satunya?”

“Kamu jadi kenyang. Hahaha.”

Kami menjeda, membiarkan ritual makan ini menghening dengan sendirinya setelah itu. Aku dengan tenang mengunyah makanan yang tidak kunikmati, meskipun ini makanan yang aku suka.

Ini ironis.

“Yukie-senpai,” aku memanggilnya.

Ia dengan santai memasukan lima potong shushi langsung ke mulutnya, “Ya?”

“Bolehkah aku meminta tolong?”

“Ya, katakana saja.”

Aku menghela napas, “Kalau aku nggak ada lagi, aku mohon padamu,” aku menggigit bibir, kalimat ini menggantung di ujung lidah, susah dikatakan tapi memang harus terucapkan, “Gantikan aku menjaga Bo-chan ya, janga Sakura." Aku menghela, "Kumohon jangan dia.”

Yukie melongo. Ia menatapku seakan aku alien dari luar bumi yang menginfasi manusia, “SEBENTAR, SEBENTAR, AKU BARU TAU ADA ISTRI MAU MENYERAHKAN SUAMINYA KE MANTANNYA!”

Aku tersenyum, “Ya.”

“kamu mau kemana?”

Apa aku sudah mengatakan kalau hari ini akan menjadi hari yang panjang? Ini masih sore dan aku sudah merasa sebegini lelah untuk mengatakan satu kata. Ya, hanya satu kata.

“Lenyap.”

***

Note:
*menghela napas* tadinya aku mau diskonek cerita ini. Tapi saying, sudah tembus 5k viewer. Tapi ingat, diawal mau namatin ini sebelum ramadhan (yang mana malah kelewat jauuuh) dan membayangkan akhir yang bahagia, tapi sepertinya mustahil untuk bahagia mengingat ‘bokuto’ ku sudah meremukan hatiku melebihi aku menulisnya di sini. Tapi ingat, kalian udah nunggu dan aku nggak mau buat kecewa siapapun—terutama diriku sendiri. Note ini mungkin akan panjang, aku berterimakasih kamu mau baca sampai sini. Aku menulis Dream versi Shungo di lapak haisute, barangkali kalian berminat membaca, alurnya tentu saja agak berbeda. Dan ya, terima kasih sudah menunggu, aku akan menyelesaikan ini—tapi nanti. Ketika kita sudah sama-sama berhenti menyakiti diri sendiri dan orang lain (???)

Terima kasih sudah menunggu, aku lenyap dulu untuk menyelesaikan laporan TA, ya! Hehe.

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now