Peluk

707 81 32
                                    

Ini akan menjadi hari yang panjang.

Dan benar saja. Hari yang diawali dengan Bokuto menarikku ke taman bermain lalu sampai detik ini, hari melelahkan itu belum juga berakhir. Meski aku berjalan di antara malam yang sunyi, Tokyo tidak pernah benar-benar mati. Dan perasaan familiar seperti ini, aku kadang--tidak ingin merelakannya.

Kalau nanti aku bertemu dengannya, setelah macam-macam hal yang diceritakan media, apa yang harus kukatakan? Dengannya, aku harus berbicara apa?

Lucu ketika menemukan dua orang yang tidak pernah sungkan mengatakan apa pun kini malah terjebak di antara penjelasan yang tidak bisa terlontarkan. Dan apa yang keluar dari mulut dia atau aku hanya akan menjadi kesia-siaan.

Aku menarik pintu, bersiap dengan segala kemungkinan yang siap terjadi.

Rumah ini gelap, seperti ruangan dari lorong lorong kesepian, empunya hanya menyalakan satu lampu di ruang tengah, lalu menemukan Bokuto terduduk di sofa tempat kami biasa bergurau atau menertawakan hari-hari sialan yang telah kami lewati, ia memegang kepalanya frustasi, ia terlihat berantakan sekaligus kecewa. Ia seperti bukan Bokuto. Dan, ia tidak menyadari keberadaanku.

“Roo, apa kau menemukannya? Dari siang, handphone-nya bahkan nggak aktif,” Ah, ya. Ia mengira aku Kuroo, dan dengan suara menyayat hati, aku yakin Bokuto menangis, “Aku nggak tahu harus cari kemana lagi..”

Ini menyakitkan. Melihatnya seberantakan ini membuat hatiku lebih hancur dari apapun. Seperti seorang burung hantu yang kehujanan di tengah badai dan tidak punya tempat manapun untuk dituju.

“..Aku sayang banget sama dia, Roo.” Bokuto berkata dengan suara putus-putus.

Pertahananku runtuh disana.

“Aku sayang Na-chan. Sangat.”

Setetes air mata mengalir tanpa izinku, membungkusku dalam perasaan sedih dan perpisahana yang kental, apa yang harus kukatakan sekarang?

Seseorang yang kau tahu betul seberapa besar rasanya, kini malah dirimu sendiri yang mempertanyakan perasaan itu. Aneh, kan? Aku aneh, kan?

“Bokuto-san,” Patah kukatakan, tapi ia langsung menyadari itu suaraku, ia serta merta menoleh kearah tempatku berdiri, “Aku pulang.”

Ia langsung berdiri dan beranjak, samar aku lihat di mata keemasan itu, ia simpan sebuah harapan kecil. Harapan yang...aku tidak tahu bisa mencapainya atau tidak. Harapan yang mungkin nantinya hanya sekedar angan-angan.

“Na-chan,” Sekarang aku dapat melihat dengan jelas kalau matanya merah, ia sungguhan habis menagis, “Kamu disini.”

Ada beberapa jeda yang membuat ruangan ini seakan sesaat itu pengap; oleh amarah yang meluap, juga kenangan yang mungkin bakal memudar. Ruangan ini setidaknya, bagiku sekarang seperti sebuah museum patah hatiku. Yang sudah lama tidak aku kunjungi, padahal aku tadi pagi bangun disini.

“Aku di rumah.” Aku mengangguk, tersenyum selebar mungkin  tapi disaat bersamaan aku tidak bisa menghentikan laju air mataku yang semakin lama semakin deras, “Kamu menagis, Bokuto-san?”

Pemuda itu, yang kusebut suami, dengan rambut yang jatuh menutupi dahi, menyedot ingusnya yang meleber, “Na-chan juga.”

Aku menghela napas, senyum itu tidak kucoba lenyapkan dari wajahku, tidak ingin benar-benar kelihatan sekacau dia, “Karenamu, Bo.”

“Aku minta maaf.” lirihnya, pelan.

karena terdengar lucu ditelinga, aku tersenyum miring, "Untuk mencium orang lain?”

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα