Fan Girl

424 74 11
                                    

Aku sekarang mengerti kenapa ruangan atasan itu selalu terasa menyeramkan.

Untuk alasan-alasan tertentu, aku masuk kedalam tipe orang yang sangat malas mengetuk pintu ruangan ini. Tapi karena harus memberikan surat pengunduran diri, maka mau nggak mau, aku harus rela ditatap sedemikian garang oleh si bos. Bukan, dia bukan manejerku yang tempo hari kena semprot Bokuto. Dia ini atasan yang waktu itu aku telpon untuk minta cuti.

“Anda yakin ingin keluar?” lagi, ini kalimat ia yang ketiga. Seperti mencoba menggoyahkan imanku untuk udahan bekerja disini. Tipikal HRD yang nggak rela anak multitalenta di lepas begitu saja.

“Ya, pak. Saya yakin.”

Orang itu menatapku sekali lagi. Tatapannya menyelidik, kemudian dalam tatapan itu juga muncul euforia sesosok ayah yang menjaga anak-anaknya dari segala petaka. Perasaan yang kalau dijelaskan, akupun sepertinya tidak juga mengerti.

“Bokuto-san, bagaimana kalau pindah divisi saja. Jangan resign.”

Ketika itu, sebentar saja, aku rindu papaku dirumah.

Aku ingin pulang.

•••

“BOKUTO-SAN! BOKUTO SAN! GO! GO! GO BOKUTO-SAN~!”

Sekejab itu aku merasa semua gelanggang olahraga ini adalah milikku. Semua orang meneriakan namaku—secara teknis, Bokuto juga namaku kan.

Memasuki arena voli yang dipenuhi penonton dan kamera wartawan olahraga. Sekarang mulai jelas maksud kalimat yang mengatakan aku ‘malas’ nonton pertandingannya. Mungkin karena hal-hal seperti ini. Terus terang, menonton dalam keramaian bukan aku banget. Namun karena sudah kepalang janji dengan mas burhan (burung hantu), jadi disinilah akhirnya berada.

Dan ya, janji menonton di tribun paling depan.

Hadeh, kenapa aku suka sekali ngeribetin diri sendiri sih?

Sambil mengucapkan permisi, aku melewati manusia-manusia yang sedang bersemangat, kaki ku sempat beberapa kali menginjak kaki orang lain yang mengharuskanku meminta maaf. Tapi itu bukan masalah. Berusaha mengambil di tribun depan, tidak duduk juga tidak apa. Soalnya sebelumnya sudah janji akan menonton di tempat yang paling memungkinkan untuk Bokuto lihat.

“Bobo-chan!!”

Voila, setelah berteriak seperti itu, bukannya dilihat Bokuto, aku malah menarik perhatian semua orang. Duh, malu.

Aku tidak duduk, aku memeluk pagar pembatas. Berdiri memperhatika Bokuto yang terlihat sangat keren dalam balutan seragam timmnya.  Tidak heran kalau dia bilang punya beberapa fans perempuan, kalau bukan istrinya, akupun akan menjadi penggemar nomor satunya di tempat ini.

Ia berkilauan sekali.

"Bokuto-san!" Kageyama memberinya kode, dalam sekejap Bokuto sudah ada didepan net, meski tiga blocker menjaganya, dengan sekali pukul ia memasukannya dengan spike silang.

Spike silang yang keren.

Aku terpaku.

Teriakan nama Bokuto semakin kencang, melatari ketersimaanku pada manusia itu. Setelah sadar aku melihat ke sekeliling, orang-orang bergembira disuguhkan pertandingan menyenangkan macam barusan. Seperti kalimat pamernya, banyak perempuan yang berlonjak senang sambil menatap penuh cinta kearah Bokuto.

Lucu, sesaat ada perasaan bangga muncul karena aku menikahi orang seperti dia.

Aku terkunci pada sosok itu.

•••


Skor 17-19, babak kedua. Tidak tahu tadi siapa yang menang di babak pertama karena tiba telat. Tapi kalau yang sedang melakukan serve itu tampan, aku tahu. Dia Kageyama Tobio, dan dalam sekali serang, serve ace nya telah membalik keadaan. Bocah itu memang selalu bisa diandalkan. Disudut pinggir ada Kuroo, ada beberapa orang yang tidak begitu kukenal. Mungkin beberapa pemain dari Kamemodai? Atau Itachiyama? Oh, si dingin itu, si sok higienis itu, si Sakusa!

Bokuto menyadari keberadaanku dan memberikan sebuah senyum lembut, lalu tertawa. Tatapan matanya tajam, sekejab mungkin aku akan jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

Jatuh cinta, ya.

Ah, para perempuan berteriak lagi melihat ekspresi Bokuto. Nggak tahu saja mereka kalau senyum itu buatku. Hahahaha, bangga nih ye?

“Bokuto Mona-san?”

Seseorang memanggil. Siapa ya?

“Ah, Halo.” Aku membungkuk samar, seseorang yang kemarin di temui Bokuto waktu kami menonton pertandingan tim Ushijima. Aromanya seperti campuran stroberi dan mint. Dewasa sekaligus cute, aku suka wewangian yang seperti ini.

“Aku Sakura. Seorang model sekaligus wartawan, teman Bokuto di majalah komik.” Ia memperkenalkan diri, sekilas aku kira ia Yamanaka Ino dari Naruto Shipudden, rambut pirang dan mata aquamarine, tinggi, dan terkesan Seksi? Ino sekali. Tapi namanya sakura. Hiya. Lagipula profesinya aneh juga ya, model dan wartawan, tapi kenal Bokuto dari komik?

“Maaf kalau Bokuto merepotkanmu.” Aku sebisa mungkin tersenyum, suaranya timbul tenggelam diantara ribuan suporter yang menyemangati Bokuto—dan timnya, of course.

"Ah, tidak juga. Dia anak yang baik." Sakura tertawa, cantik sekali.

Sebentar, dia menyebut Bokuto 'anak'?

Menanggapinya aku ikut tertawa, tapi sayangnya tawaku tidak cantik, "Dia memang selalu baik disegala situasi."

"Dia memang keren."

"Ya, belakangan ini Bokuto memang cerita kalau dia banyak supporter perempuan." Aku tersenyum kecil, mengingat dibelakangku banyak cewek-cewek sedang terperdaya dengan kekerenan Bokuto.

Eh, ngapa mbanya diem?

Kenapa aku dilihatin seperti itu?

Hei!

Aku berdehem, "Ada yang salah, Sakura-chan?"

Sepersekian detik kemudian Sakura tersenyum...meremehkan? "Ah, tidak. Kamu memanggil Bokuto dengan Bokuto, sedangkan memanggilku Sakura-chan?"

"Ah, haha. Sekilas info, aku terbiasa memanggil orang dengan surfiks -chan."

"Oh, begitu." Sakura mengalihkan atensinya, menghindariku.

"Kenapa? Apa ada masalah?"

"Bukan masalah sih," Sakura tersenyum, "Kau yang menikah dengannya saja masih kaku dengan panggilan Bokuto. Sementara aku," ia dia diam sebentar untuk menoleh lagi kearahku, "Aku dari awal bertemu sudah memanggilnya Koutaro."

"BOKUTO SAN, MASIH BOKUTO SAN DAN... SPIKE LURUS YANG SANGAT BAGUS MEMBOBOL BLOCKER~"

Suara komentator yang memuji aksi Bokuto bahkan tidak bisa mengalihkan tatapanku pada Sakura. Aku tidak bisa membalas perkataan barusan, hanya bisa menunggu kalimat yang selanjutnya akan di keluarkan.

Sebentar, menunggu?

"Kenapa orang seperti Bokuto menikahimu?" Sakura memberikan lambaian pada seseorang dilapangan--entah pada siapa, mungkin Bokuto, mungkin orang lain. "Pernah berpikir begitu Mona-san?"

Ya, aku pernah.

"Kalau kamu tidak sesayang itu padanya, mungkin bisa saja suatu saat nanti ia direbut orang lain."

Ia menusuk hatiku. Tepat.

•••

DREAM (Haikyuu-Fanfiction)Where stories live. Discover now