Bab 1 - Kebencian yang Tak Masuk Akal

16.3K 794 160
                                    

Kisah Sebelumnya

Dia menarik napas dengan wajah yang memerah. "Dasar istri nggak guna! Tugasmu tuh cuma bikin anak pertama laki-laki untuk mewarisi semua bisnisku! Gitu aja nggak becus! Lebih baik kita pisah aja! Aku nggak mau punya anak pertama perempuan!"

 "Dasar istri nggak guna! Tugasmu tuh cuma bikin anak pertama laki-laki untuk mewarisi semua bisnisku! Gitu aja nggak becus! Lebih baik kita pisah aja! Aku nggak mau punya anak pertama perempuan!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku menatap Mas Adnan tak percaya. Apa Mas Adnan sungguh-sungguh ingin menceraikanku? Apa dia melakukannya dengan sadar hingga jatuh talak? Aku tidak mengerti.

Bisa kurasakan hawa panas memenuhi wajah. Sudut mataku terasa berair. Aku menarik dan mengembuskan napas cepat berusaha menahan semua sesak yang ingin tumpah. Bahkan Dokter kandunganku pun memperlihatkan wajah prihatin.

Aku malu!

Bagaimana bisa seseorang yang kucintai mengatakan hal sekasar itu di depan orang lain!

Aku merasa tak berharga!

Ingin kuikat rambutku ke atas. Hatiku gerah hingga rasanya merambat ke sekujur tubuh! Perasaanku kacau sebesar keinginan untuk mengacak kepala.

Namun, aku ingat kalau Mas Adnan tidak mengizinkanku mengikat rambut. Dia begitu sering memuji betapa cantik diriku yang memiliki rambut panjang yang halus. Seperti ratu yang begitu memesona di matanya. Dulu, aku tersipu setiap dia melambungkanku dengan kata-kata. Namun, kini rasanya panas dan berat hingga membebani kepala.

Ah, padahal mereka bilang seorang Ibu yang sedang hamil tidak boleh terlalu bersedih. Bisa-bisa, memengaruhi perkembangan calon bayinya. Ternyata kenyataan tak seindah teori. Bagaimana aku bisa bahagia jika perceraian sudah terbayang di depan mata?!

Aku membelai perutku perlahan. Lidahku kelu untuk mengucap sepatah pun bantahan. Padahal, janin ini juga memiliki masalah cukup serius pada jantungnya. Aku bahkan harus bed rest total karena terlalu sering mengalami flek, kram, dan diperparah dengan HB-ku yang rendah.

Sebenarnya Mas Adnan pun sudah diberi tahu bulan lalu. Namun, pria itu tetap lebih memikirkan jenis kelamin jabang bayi di perutku daripada fakta yang lain. Bagaimana bisa ada suami sekejam itu? Kenapa aku bisa terpedaya pada semua janji manisnya saat dia melamarku dulu?

Dia memang memintaku untuk memiliki anak pertama laki-laki. Aku pun dengan ringan menyanggupi. Namun, tak pernah kusangka kalau akibatnya begini fatal jika gagal. Bagaimana aku bisa memastikan sesuatu yang bahkan di luar kendaliku?!

"Maaf, Pak." Akhirnya dokter kandunganku memecah kesunyian. "Namun, yang menentukan jenis kelamin pada anak justru dari pihak suami. Kromosom Y adalah sumbangan dari Bapak, Bu Raya hanya bisa menerima." Aku bisa merasakan pembelaan dokter Dewi di sana. Mungkin dia tak tahan melihat bagaimana aku diperlakukan.

Sementara itu, Mas Adnan hanya mencebik meremehkan. "Memang Dokter pikir saya ini bodoh? Itu berarti, tubuh Raya membunuh sperma yang mengandung kromosom Y! Tubuhnya hanya menerima kromosom X. Artinya itu salah wanita bodoh ini!"

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now