Bab 21 - LAHIR

5.1K 572 128
                                    

Masyaallah dapat 83 vote, sayangnya ga 24 jam

Kemarin deal ada scene Bram vs Adnan sebelum nikah. 

Karena, ini scene BELUM PERNAH ditulis di KBM, doakan kekejar buat up Senin.

Ingetin kalau belum up, ya! Makasii

Ingetin kalau belum up, ya! Makasii

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ah, omong-omong soal itu ... tadi Adnan bilang, dia akan menyewa detektif atau apa untuk menemukan keberadaanmu. Dia masih yakin kalau bayi itu anaknya. Apa kamu sudah berada di tempat yang aman?"

Seketika itu juga ketakutan kembali mencengkeram bahuku erat.

Aku menepuk pipi berusaha mengenyahkan kekhawatiran yang bergelayut. Di apartemen ini, semua orang yang masuk harus menggunakan kartu khusus. Bahkan, tamu tidak diperkenankan naik kecuali ada izin khusus dari pemilik apartemen dan tetap harus meninggalkan KTP di pos keamanan.

"InsyaAllah aman, kok. Makasih infonya." Aku berusaha mengatur nada suaraku agar terlihat tidak mencemaskan apa pun. Fio harus menangkap kesan bahwa aku bisa mengendalikan situasi. Dia pasti sudah merasa sangat bersalah atas segalanya.

"Syukurlah kalau begitu. Boleh kita bicara di luar? Mungkin di kafe langganan kita dulu?" Fiona kembali mengeluarkan nada memohon.

Sayangnya kali ini aku tak bisa berbuat banyak. "Maaf, Fio. Kondisi sedang tidak memungkinkan."

"Maksudnya?"

"Bagaimana kalau tiba-tiba Mas Adnan melihat kita. Lalu berbuat yang tidak-tidak padaku?"

Tidak ada suara beberapa saat kemudian.

"Raya, jadi bener yang Adnan bilang kalau kamu belum menikah?"

Aku menelan ludah. Entah kenapa aku merasa kalau pertanyaan Fiona terlalu berlebihan. Terlalu kepo dan membuatku tak nyaman. Firasatku mengatakan untuk segera mengakhiri percakapan ini.

"Aku cuma takut Mas Adnan berbuat nekat. Dia selalu begitu jika menginginkan sesuatu." Aku masih berusaha untuk memberi jawaban yang jujur, tapi memberi kesan tidak jelas.

Aku menarik napas. Dulu kupikir kenekatannya untuk terus mendekatiku adalah hal romantisme yang indah. Begitu posesif dan kuat. Bahkan mencemburui Mas Bram yang saat itu masih sebagai atasanku. Namun, aku salah. Apa pun yang berlebihan tidak pernah baik. Bahkan untuk hal semurni cinta.

"Jadi, bayi di kandunganmu sekarang laki-laki?"

"Semua orang akan tahu ketika bayi ini lahir." Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku benci berbohong. Namun, aku juga tak berani terlalu jujur.

"I see."

"Oke, Fio. Sudah malam. Aku harus beristirahat."

Fio pun hanya bisa memintaku untuk berhati-hati dan mengucapkan selamat tidur.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now