Bab 14 - Bermuka Dua

3.8K 545 89
                                    

Masih dengan Shirei minta 88 vote [Total jadi 407 vote],

Soalnya kemarin turun 20 vote dari bab sebelumnya. Hix.

Hari ini, Shirei nambah usia...ganti dekade. T_T Udah tua. Ahahaha

Tolong doakan usianya selalu berkah dan bisa husnul khotimah kelak. Aamiin

"Kamu bayar pakai apa kok Pak Bram langsung mengangkatmu jadi sekretaris dan calon istrinya? Apa kamu bayar pakai tubuhmu?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu bayar pakai apa kok Pak Bram langsung mengangkatmu jadi sekretaris dan calon istrinya? Apa kamu bayar pakai tubuhmu?"

Seketika itu juga jantungku berdentam dengan keras.

Kutarik napas dan berdiri menyejajarkan pandangan. Ah, ternyata dia jangkung juga. Aku hanya sebatas telinga wanita itu. Sayang dari balik meja, aku tak bisa melihat seberapa tinggi heels yang dipakainya.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyaku berpura-pura tak mendengar ocehannya sebelum ini. Percuma menanggapi orang bermulut beracun seperti wanita ini. Cantik, tapi berbisa.

"Kamu nggak denger saya ngomong apa? Kamu pake pelet apa sampai Pak Bram mau menikahimu?"

Aku menarik napas. Memang sepagian tadi, aku dikenalkan sebagai sekretaris sementara, sekaligus calon istri Mas Bram. Ternyata, ini langsung menuai pertikaian.

Yah, wajar, sih. Tidak mungkin orang seperti Mas Bram tidak memiliki penggemar. Namun, yang fanatik seperti ulat keket di hadapanku, itu lain urusan.

Menyebalkan!

Ya Allah, berikan aku kesabaran dan kekuatan menghadapi wanita dengan congor yang tidak bisa dikontrol ini.

"Ibu mungkin bisa tanya ke Pak Bram sendiri tentang itu." Aku tersenyum meski tanganku rasanya gatal ingin menarik selotip dispenser dari meja lalu menempelkan ke mulutnya.

"Kamu kurang ajar ya sama saya!" serunya tertahan. Mungkin takut Mas Bram mendengar. "Kamu nggak tahu siapa saya?"

Aku hanya menarik kembali bibirku ke atas. "Bagaimana mungkin saya tidak tahu Bu Irina Maharani sang General Manager."

Wanita itu mengangguk-angguk puas. "Saya nggak suka sama sikap kamu yang sombong! Bagaimanapun juga, jabatan kamu nggak lebih tinggi dari saya."

Aku malas berdebat. Bagaimana mungkin dia bilang jabatannya lebih tinggi. Kami bahkan tidak berada dalam urutan silsilah perusahaan yang sama.

"Maaf, Bu Irina. Lalu, ada yang bisa saya bantu?" Aku tetap berusaha mengembalikannya ke topik yang benar.

Dia menarik napas dengan kesal karena usahanya terlihat tak berhasil membuatku terganggu. Jujur aku sempat kaget, tapi aku berusaha bersikap tenang. Toh, aku tak berhak melarang orang lain jatuh cinta pada pria seperti Mas Bram, bukan?

"Saya mau ketemu Pak Bram."

"Ada perlu apa? Akan saya teleponkan terlebih dahulu."

"Tidak perlu. Saya biasa langsung masuk."

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now