Bab 60 - Kegagalan Pertama

1.6K 164 75
                                    

Keesokan harinya, aku mengantar Mas Bram berangkat ke pabrik.

"Pokoknya, kamu jangan capai-capai. Soal duit, biar aku yang urus. Kamu bisa ngerti keputusanku, 'kan?"

Lidahku kelu. Aku terlalu takut untuk menjawab. Apa aku harus berbohong? Atau harus berterus terang.

"Udah, berangkat sana. Katanya mau rapat direksi." Mami Lena tiba-tiba memberi isyarat agar Mas Bram segera berangkat sekaligus menyelamatkanku dari menjawab pertanyaan tersebut. Aku sungguh tidak ingin berdusta juga mengarang-ngarang alasan.

Mami memberi kode agar aku menemaninya berangkat segera.

Mas Bram pun akhirnya berangkat tanpa melanjutkan percakapan kami. Sementara Daffa semakin semangat bersekolah. Sayangnya, hari ini dia mulai merajuk.

"Mama, Dapa pengin mainan bola beci gede!" Tangan mungilnya mengembang lebar. Mata bulat putra sulungku pun berbinar penuh harap.

"Mainan bola?"

Dapa menggeleng. "Panjat-panjatan. TK Dapa nggak punya."

Mulutku membulat. Ternyata ada satu wahana yang tidak ada di TK tempatnya belajar sekarang. Bola besi untuk panjat-panjatan.

"Tapi, nggak ada itu juga tetap seru, kan?" Aku berusaha membujuk.

Namun, Daffa keras kepala. Meski sudah beberapa hari aku berusaha membujuk, dia masih kukuh memintanya. Aku menghela napas merasa keteguhannya adalah hal bagus sekaligus menyusahkan. Bagus karena dia punya pendirian dan tidak mudah disetir, tapi juga menyulitkan orang tua agar mengajarinya.

Aku membaca di marketplace hijau, harganya empat setengah juta sudah termasuk ongkos kirim. Lumayan, tidak sebesar dugaanku semula. Namun, tetap saja, bagi ibu rumah tangga tidak berpenghasilan, aku tidak punya tabungan sebanyak itu. Memang aku punya tabungan pemberian Mas Bram, tapi itu untuk biaya sekolah Daffa kelak. Aku tidak boleh mengutiknya apalagi hanya untuk sekadar membeli mainan.

Namun, rengekan Daffa setiap hari membuatku akhirnya tidak tega. Aku bertekad akan menyukseskan bisnisku hingga mampu membelikan Daffa mainannya sendiri, juga sekolah terbaik versiku kelak tanpa harus terganggu dengan permintaan uang dari Mbak Laura yang sangat nggak tahu aturan itu!

Maka, mulai hari itu, aku disibukkan dengan kegiatan pendataan stock, pembelian barang, promosi, perekrutan reseller, bahkan aku juga menyediakan sample jar skincare mahal agar yang mau mencicipi sedikit bisa membeli. Tokoku tersebar di aneka platform berjualan online. Tak hanya itu, aku pun membangun website. Kupakai nomor ponsel baru agar Mas Bram tak curiga. Mami yang membiayai semua modalnya.

Tiga bulan berjalan dengan lancar. Aku menyembunyikan stok barangku di kamar Mami yang luas. Skincare tidak membutuhkan penyimpanan yang besar khususnya jika aku masih merintis. Terjual lima ratus buah aneka skincare dalam sebulan saja sudah sangat bagus bagi pemula.

Untuk packing dilakukan pekerjaku di belakang hanya ketika Mas Bram berangkat pukul sembilan sampai pukul dua sebelum kurir ekspedisi menjemput pukul tiga tepat. Aku sengaja tidak mengambil untung banyak. Yang penting produk terus berputar dan laku.

Kelak, kalau memang dibutuhkan, aku akan menyewa rumah kecil untuk tokoku sendiri. Namun, jika itu terjadi, maka akan semakin sulit menyembunyikan semuanya dari Mas Bram.

Sejujurnya, aku ingin sekali mendapat restunya. Namun, Mami pun berkata kalau Bisnisku sebaiknya dirahasiakan dari semua orang termasuk Mbak Laura dan Mas Reza. Entah apa yang akan Mbak Laura lakukan kalau sampai Bisnisku ketahuan.

Kalau yang ini, aku setuju. Untungnya Mbak Laura bukan tipe orang yang suka ke rumah bagian belakang. Jadi dia belum pernah memergoki aku ataupun dua pegawaiku membungkus paket.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now